Minggu, 02 Juli 2017

risalah qusyairiyah 12

26.IKHLAS
Friman Allah swt. :“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Qs. Az-Zumar :3).




Anas bin Malik r.a menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :“Belenggu tidak akan masuk kedalam hati seorang Muslim jika ia menetapi tiga perkara. Ikhlas beramal hanya bagi Allah swt. memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan masyarakat Muslim.” (Hr. Ahmad, dikategorikan shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar).Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah swt. Sebagai Satu-satunya sesembahan. Sikap taat dimaksudkan adalah taqarrub kepada Allah swt. mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian atau pun peghormatan dari manusia. Atatupunkonotasi kehendak selain taqarrub kepada Allah swt. semata. Dapat dikatakan : “Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk.” Dikatakan juga “Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu manusia.”Nabi saw. ditanya, apakah ikhlas itu? Nabi saw. bersabda :“Aku bertanya kepada Jibril as. Tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata : “Aku bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah swt. menjawab “Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang kucintai.” (Hr. Al-Qazwini, riwayat dariHudzaifah).Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Keikhlasan adalah menjaga diri dari campur tangan makhluk, dan sifat shidq berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap riya’ dan orang yang jujur tidaklah takjub pada diri sendiri.”Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Keikhlaan hanya tidakdapat dipandang sempurna, kecuali dengan cara menetapi dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Sedangkan jujur hanya dapat dipenuhi dengan cara berikhlas secara terus menerus.”Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Apabila mereka melihat keikhlasan dan dalam keikhlasannya, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan lagi.”Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ada tiga tanda keikhlasan. Manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia samasaja; melupakan amal ketika beramal; danjika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karenaamal baiknya.”Aengenai ikhlas manusia pilihan (khawwash), keikhlasan datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka tetapi mereka amenyadari perbuatanbaiknya bukan dari diri sendiri, tidak pula peduli terhadap amalnya. Itulah keikhlasan kaum pilihan.”Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan : “Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang ikhlas adalah penglihatannya akan keikhlasannya itu. Jika Allah swt. menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya. Dia akan menggugurkan keikhlasannya dengan cara tidak memandang keikhlasannya sendiri dan jadilah ia sebagia orang yang diikhlaskan Allahswt. (mukhlash) bukannya berikhlas (mukhlish).”Sahl berkata : “Hanya orang yang ikhlas (mukhlish) sajalah yang mengetahui riya.”Abu Sa’id al-Kharraz menegaskan : “Riya kaum ‘arifin lebihbaik daripada ikhlas para murid.”Dzun Nuun berkata : “Kekikhlasan adalah apa yag dilindungi dari kerusakan musuh.”Abu Utsman mengatakan : “Keikhlasan adalah melupakan padnangan makhluk melalui perhatian yang terus menerus kepada khlaik.”Huszaifah al-Mar’asyi berkomentar : “Keikhlasan berarti bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya.”Dikatakan : “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya Allah swt. berkehendak dan dimaksudkan tulus dalam ucapan serta tindakan.”Dikatakan pula : “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri pada kesadaran akan perbuatan baik.”As-Sary mengatakan : “Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia dengan sesuatu yang bukanmiliknya, berarti tercampak dari penghargaan Allah swt.”Al-Fudhail berkata : “Menghentikan amal-amal baik karena manusia adalah riya’, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembunyikan dari dua penyakit ini.”Al-Junayd mengatakan : “Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk dapatdituliskannya, setan tidak mengetahuinya hingga tidak dapat merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya sehingga ia tidak mampu mempengaruhinya.”Ruwaym menjelaskan : “Ikhlas dalam beramal kebaikan berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan pahala baik di dunia maupun di akhirat.”Dikatakan kepada Sahl bin Abdullah : “Apakah hal terberat pada diri manusia? Ia menjawab : “Keikhlasan, sebab diri manusia tidakpunya bagian di dalamnya.”Ketika ditanya tentang ikhlas, salah seorang Sufi menjawab : “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah swt. untuk menjadi saksi atas perbuatanmu.”Salah seorang Sufi menuturkan: Aku menemui Sahl bin Abdullah pada hari Jum’at di rumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu berdiri di pintu. Ia berseru : Masuklah! Tidak seorang pun dapat mencapai hakikat iman jika ia masih takut pada sesuatu pun di atas bumi.” Kemudian ia bertanya. “Apakah engkau hendak mengikuti shalat Jum’at? Aku menjawab “Jarakdari sini ke masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari semalam. Maka Sahl lalu menggandeng tanganku, dan sesaat kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di sana, melihat ke arah orangbanyak, dan berkata : Banyak orang mengucapkan “Laa ilaaha Illallaah”. Tapi yang ikhlas amatlah sedikit.”Makhul berkata : “Tidak seorang pun hamba yang ikhlas seama empat puluh hari, kecuali akan mendapatkan sumber hikmah memancar dari hati pada lisannya.”Yusuf bin al Husain berkomentar : “Milikku yang paling berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari riya’ namun setiap kali aku berhasil, ia muncul dalam warna yang lain!.”Abu Sulaiman berkata : “Jika seorang hamba berikhlas, maka terpotonglah waswas dan riya”.


27.KEJUJURANAllah swt. berfirman :“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (Qs. At-Taubah:19).Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasululah saw. bersabda :“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur, dan jika ia tetap berbuat dusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis disisi Allah sebagai pendusta.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi).Kejujuran (shidq) adalah tiang penopang segala persoalan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan ini tercapai, dan melaluinya pula ada tata aturan. Kejujuran mengiringi derajat kenabian, sebagaimana difirmankan Allah swt. :“.... Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi dan orang-orang yang menetapi kejujuran (Shiddiqin) para syuhada’ dan orang-orang ssaleh.” (Qs. An-Nisa’ :69).Kata Shidq (orang yang jujur) berasal dari kata Shidq (kejujuran). Kata Shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq, dan berarti orang yang didominasi oleh kejujuran. Demikian juga halnya dengan kata-kata lain yang bermakna penekanan, seperti sikkir dan pemabuk, yang penuh anggur (khimmir). Derajat terendah kejujuran adalah bila batin seseorangselaras dengan perbuatan lahirnya. Shadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya. Shiddiqy adalah orang yang benar-benar jujur dalam semua kata-kata, perbuata dan keadaan batinnya.Ahmad bin Khadhrawaih mengajarkan : “Barangsiapa ingin agar Allah bersamanya, hendaklah ia berpegang teguh pada kejujuran, sebab Allah swt. bersama-sama orang yang jujur.”Al-Junayd berkata : “Orang yang jujur berubah empat puluh kali dalam sehari, sedangkan orang riya’ tetap berada dalam satu keadaan selama empat puluh tahun.”Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Jika orang yang jujur ingin menggambarkan apa yang ada dalam hatinya, maka lisannya tidak akan mengatakannya.”Dikatakan : “Bersikap jujur berarti menegaskan kebenaran, meskipun terancam kebinasaan.”An-Naqqad mengatakan : “Sikap jujur berarti mencegah kedua rahang (syidq) dari mengucapkan apa yang terlarang.”Abdul Wahid bin Zaid berkomentar : “Sikap benar adalah setia kepada Allah swt. dalam tindakan,”Sahl bin Abdullah mengatakan: “Seorang hamba yang menipu diri sendiri atau orang lain tidak akan mencium harum semerbaknya kebenaran.”Abu Sa’id al-Qurasyi mengatakan : “Orang yang jujur adalah orang yang siap mati dan tidak akan malu jika rahasianya diungkapkan. Allah swt. berfirman : “Maka, inginkanlah kematian, jika kamu orang-orang yang jujur.” (Qs. Al-Baqarah :94).Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu hari Abu Ali ats-Tsaqafy sedang memberikan pelajaran, tiba-tiba Abdullah bin Munazil berkata kepadanya : “Wahai Abu Ali, siapkanlah diri Anda untuk mati, sebab tidak ada jalan untuk lari darinya. “Abu Ali menjawab : “Dan Anda, wahai Abdullah, siapkanlah diriuntuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya. ‘Maka disaat itulah Abdullah merebahkan diri, membentangkan kedua tangannya, menundukkan kepalanya dan mengatakan : “Aku mati sekarang.” Abu Ali pun diam terpaku karenanya, dimana dirinya tidak mampu menandingi apa yang dilakukan Abdullah, karena Abu Ali masih terpaut pada dunia, sedangkan Abdullah telah terbebas dari ikatan dunia.”Ahmad bin Muhammad ad-Dainury sedang berbicara di hadapan sekumpulan orang ketika seorang wanita di antara mereka berteriak, Abu Abbas memarahinya dengan kata-kata : “Matilah engkau!” Wanita itu bangkit, maju beberapa langkah, berpaling kepadanya dan berkata, “Aku telah mati.” Kemudian ia jatuh ke tanah dan mati.”Al-Wasithy berkata : “Kejujuran adalah keyakinan yang kokoh terhadap tauhid bersama-sama dengan niat.”Dikatakan : “Abdul Wahid bin Zaid memandang kepada seorang pemuda di antara para sahabtnya, yang bertubuh kurus kering, dan Abdul Wahid bertanya kepadanya : “Apakah engkau telah terlalu lama memperpanjang puasamu?” Pemudaitu menjawab : “Aku juga bukan memperpanjang berbuka. Kemudian Abdul Wahid bertanya : Apakah engkau telah memperpanjang waktu bangun untuk shalat malammu?” Pemuda itu menjawab : Bukan, bukan pula aku telah memperpanjang tidur.” Lalu Abdul Wahid pun bertanya : Apakah yang telah membuatmu begitu kurus?” Pemuda itu menjawab : “Hasrat yangselalu berkobar dan rahasia terpendam yang abadi.” Abdul Wahidberseru, Dengarlah! Betapa beraninyapemuda ini!. Pemuda itu lalu berdiri, maju dua langkah dan berteriak : “Ya Allah, jika aku memang tulus, ambillah nyawaku sekarang juga!” lalu ia pun jatuh dan meninggalkan dunia ini.”Abu Amr az-Zajjajy menuturkan: Ibuku meninggal, dan aku mewarisi sebuah rumah beliau. Aku menjualnya dengan harga limapuluh dinar dan kemudain berangkat menunaikan ibadah haji. Setiba di Babilonia, seorang penggali saluran air bertanya kepadaku : “Apa yang engkau bawa ?” Aku berkata dalam hati : “Kejujuran adalah yang terbaik.”Dan aku menjawab : “Uang lima puluh dinar.” Ia berkata : “Serahkanlah kepadaku!” Maka akupun memberikan kantong uangkukepadanya. Dihitungnya jumlah semua uang di dalamnya, dan ternyata memang ada limapuluh dinar. Berkatalah ia : “Ambillah kembali uangmu!” Kejujuranmu menyentuh hatiku.” Lalu ia turun dari kudanya dan berkata : “Niaklah kudaku” Aku balik berkata : Aku tidakmenginginkannya.” Ia berkata : “Harus...!” dan terus memaksaku menaiki kudanya. Kahirnya setelah aku bersedia naik di atasnya, ia berkata : Aku di belakangmu.” Satu tahun kemudian ia berhasil menyusulku, dan tinggal bersamaku hingga akhir hayatnya.”Ibrahim al-Khawwas menjelaskan : “Orang jujur tidak memandang kecuali kewajiban yang harus ditunaikan, atau ibadat utama bagi Allah swt.”Al-Junayd berkata : “Inti kejujuran adalah bahwa engkau berkata jujur di wilayah yang, apabila seseorang berkata jujur tidak akan selamat kecuali berdusta.”Dikatakan : “Tiga hal tidak penah lepas dari seorang jujur ucapannya, kehadiran yang kharismatis dan pancaran taat di wajahnya.”Dikatakan pula “Allah swt. bersabda kepada Daud as. : “Wahai Daud, barangsiapa menereima apa yang kukaakan dengan sejujurnya dalam hatinya niscaya Aku akan mengukuhkan sifat jujur di kalangan makhluk manuisa dalam lahiriahnya.”Dikatakan Ibrahim bin Dawhah memasuki padang pasi bersma Ibrahim bin Sitanbah. Kata Ibnu Dawhah : “Ibnu Sitanbah mengatakankepadaku : “Campakkanlah segala apa yang mengikatmu!.” Aku melemparkan segala sesuatu yang ada padaku, kecuali uang satu dinar. Lalu ia berkata : “Wahai Ibrahim, janganlah engkau membebani pikiranku!. Campakkanlah keerikatanmu! Maka dinar itu pun lalukulemparkan. Tapi lagi-lagi ia mengatakan. Wahai Ibrahim, campakkanlah keterikatanmu!” Lalu aku ingat bahwaaku masih memiliki beberapa tali sandal cadangan, yang lalu kulemparkan juga. Selanjutnya, dalam perjalananku, setiap kali aku memerlukan tali sandal, maka muncullah seutas tali sandal di hadapanku. Ibrahim bin Sitanbah mengatakan : “Inilah orang yang beramal dengan Allah swt. secara jujur.”Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Kejujuran adalah pedang Allah, tidaksatu pun di letakkan padanya, kecualiakan terpotong.Sahl bin Abdullah mengataka : “Awal penghianatan orang-orang jujur adalah menculnya keraguan dengan dirinya.”Ketika ditanya tentang kejujuran, Fath al-Maushaly memasukkan tangannya ke dalam bara api seorang tukang besi. Mengambil sebatang besi yang merah membara, meletakkannya di telpak tangannya dan berkata : “Inilah kejujuran!”Yusuf bin Asbat berkata : “Aku lebih suka menghabiskan waktu semalam bersama Allah swt. dalam kejujuran jiwa daripada berperang dengan pedangku di Jalan-Nya.”Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan : “Kejujuran adalah seperti engkau menganggap dirimu sebagaimana adanya, atau engkau dilihat seperti apa adanya dirimu.”Ketika al-Harits al-Muhasiby ditanya tentang tanda-tanda kejujuran, ia menjawab : “Orang yang jujur adalah orang yang manakala tidak peduli akan ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas jasanya kepada manusia untuk dilihat, dan juga tidak peduli apakah popularitasnya di antara manusia akan lenyap. Ia bahkan tidak membenci bila perbuatan buruknya dilihat oleh orang banyak, Jika ia benci, ia perlu menambah imannya. Dan yang demikian itu bukanlah ciri akhlak orang-orang jujur.”Salah seoran Sufi berkomentar: “Jika seseorang tidak memenuhi satu kewajiban agama yang abadi, maka pelaksanaan keajiban-kewajiban agamanya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkeseorang bertanya : “Apakah kewajiban agamayang abadi itu?” Ia menjwab : “Kejujuran.”Dikatakan : “Jika engkau mencari Allah swt. dalam kejujuran, niscaya Dia akan memberimu cerminyag di dalamnya engkau akan melihat semua keajabiban dunia dan akhirat.”Dikatakan : “Engkau harus berlaku jujur ketika merasa takut bahwa hal itu akan mencelakakanmu, padahal itu akan bermanfaat bagimu. Janganlah menipu ketika engkau mengira hal itu akan menguntungkanmu, padahalpasti ia akan merugikanmu.”Dikatakan juga : “Tiap-tiap sesuatu punya arti, tapi persahabatanseorang pendusta tidak berarti apa-apa.”Dikatakan : “Tanda seorang pendusta adalah kegairahannya untuk bersumpah sebelum hal itu dituntut darinya.”Ibnu Sirin mengatakan : “Lingkup pembicaraan itu demikian luas hingga (sebetulnya) orang tidak perlu berdusta.”Dikatakan : “Seorang pedagangyang jujur tidak pernah melarat.”

28.MALUFirman Allah swt. :“Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (Qs. Al-‘Alaq:14).Diriwayatkan oleh Abu Hurairahr.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :“Malu adalah sebagian dari iman.” (H.r. Tirmidzi).Juga sabda beliau suatu hari kepada para sahabtnya :“Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Mereka berkata : “Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabi Allah, dan segala puji bagi-Nya!.” Beliau bersabda : “Itu bukanlah malu yang sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah swt. hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya, hendaklah ia mengingatmati dan fitnah kubur. Orang yang menghendaki Akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan duniawi. Orang yang melakukan semua ini. Berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya di hadapan Allah.” (H.r. Tirmidzi dan Hakim dan dishahihkan oleh Al-Hakim).Sebagian hukama’ mengajarkan : “Jagalah agar malu tetap hidup dalam hatimu dengan cara berteman dengan orang yang dipermalukan orang lain.”Ibnu Atha’ menegaskan : “Bagian terbesar dari ilmu adalah rasa gentar dan malu. Jika yang dua ini lenyap, tiada lagi kebaikan.”Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Malu berarti bahwa engkau merasakan kegentaran dalam hatimu, sangat takut akan masa lalu yang telah engkau lakukan di hadapan Allah swt.” Ia juga mengatakan : “Cinta membuat orang berbicara, malu membuat orang terdiam, dan takut membuat orang gelisah.”Abu Utsman mengatakan : “Orang yang berbicara tentang malu, namun tidak merasa malu di hadapan Allah swt, berarti telah terkena istidraj.”Abu Bakr bin Asykib menuturkan bahwa al-Hasan bin al-Haddad datang kepada Abdullah bin Munazil, yang menanyakan kepadanya, “Anda datang dari mana?” Ia menjawab : “ Dari majelis Abul Qasim sang pengingat.” Abdullah bertanya kepadanya : “Apa topik pembicaraannya?” Dijawabnya :“Tentang malu.” Abdullah berkomentar : “Menkajubkan sekali, bahwa orang yang belum pernah merasa malu di hadapan Allah dapat berbicara tentang malu?”As-Sary berkata : “Malu dan sukacita ruhani masuk ke dalam hati seseorang. Jika keduanya menemukan wara’ dan zuhud, maka mereka akan menetap. Jika tidak, mereka akan meneruskan perjalanan.”Al-Jurairy mengabarkan : “Padagenerasi pertama Kaum Muslimin, orang mengamalkan agama sampai agama menjadi lemah. Pada generasi kedua, merekea menekankan kesetiaan, sampai kesetiaan lenyap. Pada generasi ketiga, mereka menekankan keksatriaan (muru’ah) sampai ia lenyap. Pada generasi keempat, mereka menekankan rasa malu sampai malu itu lenyap. Sekarang orang beramal karena hasrat dan takut.”Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Dia (istri al-Aziz) telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukannya pual) dengan wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (Qs. Yusuf :24), pengertian : “Tanda” di sini adalah, bahwa di saat wanita itu menutupkan selembar kain ke wajah patung yag ada di sudut ruangan. Ketika Yusuf bertanya : “Apa yang engkau lakukan?” Ia menjawab : “ “Aku merasa malu di hadapannya.” Yusuf berkata : “Aku lebih punya alasan lagi untuk malu di hadapan Allah swt.”Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu.” (Qs. Al-Qashash :24), bahwa ia malu Kepada Musa karena menawarkan jamuan malu seandainya Musa tidak menjawab salamnya. Malu sebagai sifat tuan rumah, adalah jenis malu yang muncul dari penghormatan kepada tamu.Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Allah swt. berfirman : “Wahai hamba-Ku, selama engkau malu di hadapan-Ku, Aku akan membuat manusia lupa akan kekuranganmu, Aku akan membuat muka bumi lupa akan dosa-dosamu. Aku akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan buku catatan induk, dan Aku tidak akan meneliti amalanmu pada Hari Kebangkitan.”Seseorang bertanya kepada seorang laki-laki yang terlihat shalat di luar masjid. “Mengapa engkau tidak masuk dan shalat di dalam?” Laki-laki itu menjawab : “Saya malu memasuki rumah Allah karena telah bermaksiat kepada-Nya.”Salah satu tanda bahwa seseorang memiliki rasa malu adalah, bahwa ia tidak pernah terlihatdalam situasi yang membuatnya malu.Sebagian Sufi menuturkan : “Suatu malam kami keluar dan melwetti rimba. Tiba-tiba mendapati seseorang tidur di tempat itu, sedangkudanya merumput dekat kepalanya. Kami membangunkan orang itu dan bertanya kepadanya. “Tidakkah engkau takut tidur di tempat yang mengerikan dan penuh binatang busa ini?” Ia mengangkat kepalanya dan menjawab : “Di hadapan-Nya, aku malu menakuti apa pun selain Dia.” Kemudian diletakkan kembali kepalanya dan meneruskan tidurnya.”Allah swt. mewahyukan kepadaIsa as. : “Nasihatilah dirimu. Jika engkau menghirauikan ansihat itu, maka nasihatilah manusia. Jika tidak, maka malulah kepda-Ku untuk menasihati manusia.”Diaktakan bahwa ada beberapamacam malu. Yang pertama adalah malu dikarenakanpelanggaran, seperti malu Nabi Adam as. Ketika ditanya : “Apakah engkau berniat lari dari Kami?” Beliau menjawab : “Tidak, karena malu di hadapan-Mu.” Yang kedua adalah malu karena terbatas, seperti malu para malaikat yang mengatakan : “Maha Suci Engkau! Kami telah menyembah-Mu tidak sebagaimana layaknya Engkau disebah.” Yang ketiga adalah malu karena mengagungkan, seperti malu Israfil as. Yang menutupkan sayapnya ke tubuhnya karena malu kepada Allah, Yang keempat adalah malu karena kemuliaan hati, seperti malu rasulullah saw. ketika malu untuk mempersilahkan pergi tamu-tamu beliau, dan Allah swt. laluberfirman : “.... dan jika kamu selesai makan, keluarlah kamu semua tanpa asyik memperpanjang percakapan.” (Qs. Al-Ahzab :53). Yang kelima adalh malu karena enggan, seperti malu Ali bin AbuThalib ra. Ketika menyruh Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakan kepada Nabi saw. tentang hukumnya madzy (lendir yang mengalir dari alat kelamin laki-laki, keluar air mani) karena mengenai Fatimah r.a. Yang keenam adalah malu karena terlalu remeh untuk diungkapkan, seperti malu Musa as. Ketika munajat : “Aku mengajukan suatu kebutuhan dari dunia ini, dan aku malu meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Dan Allah lalu menjawab kepadany : “Minalah kepada-Ku, bahkan untuk adonan roti dan jerami untuk domba-dombamu.” Akhirnya, ada malu karena sifat pemberi kenikmatan, yang merupakan malu Allah swt. Dia memberikan buku yang distempel kepada seorang hamba setelah melewati Jembatan di akhirat. Di dalam buku itu tba-tiba tertulis : “Engkau telah melakukan (dosa) ini dan itu. Aku malu menunjukkannya kepadamu, karena itu pergilah; Aku telah mengampunimu.”Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq saya dengar berkata : “Yahya bin Muadz berkata, Maha Suci Dzat Yang didustai hamba, sedang Dia mereasamau, padahal dosa itu datang dari sang hamba.”Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan : “Ada lima tanda celaka seorang manusia. Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”Dalam salah satu kitab, Allah swt. berfirman : “Hamba-Ku telah mempermalukan Aku dengan tidak adil. Ia berdoa kepada-Ku dan Aku merasa malu jika tidak mengabulkandoanya, tapi ia bermaksiat kepada-Ku tanpa merasa malu kepada-Ku.”Yahya bin Muadz mengatakan :“Bagi manusia yang malu di hadapanAllah swt. ketika ia taat, mka Allah akan malu ketika ia melakukan dosa.”Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Ketahuilah, bahwa malu menebabkan pencairan, sebab dikatakan bahwa rasa malu adalah mencairnya organ-organ tubuh manusia sebelah dalam ketika ia menyadari tatapan Tuhan kepadanya.Dikatakan : “Malu adalah mengkerutnya hati manusia untuk mengagungkan kebesaran Tuhan.”Dikatakan juga : “Manakala seseorang duduk di hadapan sekumpulan manusia, memperingatkan dan menasihati mereka, maka kedua malaikatnya berseru kepadanya : “Peringatkanlah dirimu sebagaimana engkau memperingatkan saudaramu. Jika tidak, maka malulah engkau di hadapan Tuhanmu, sebab Dia melihatmu.”Al-Junayd ditanya tentang malu, ia menjawab : “Penglihatan pada rahmat Allah swt. terus tercurah dan penglihatan terhadap keterbatasan diri. Di antara keduanyakemudian melahirkan apa yang disebut “malu”,Muhammad al-Wasithy berkomentar : “Orang tidak akan pernah merasakan sengatan malu, yang memakai robekan batas-batas yang ditetapkan Allah atau merusak janji.” Dikatakannya pula : “Keringat mengalir keluar dari orang yang merasa malu. Ia adalah anugerah yang ditempatkan di dalam dirinya. Selama nafsu rendah masih ada dalam dirinya, maka ia akan dijauhkan dari malu.”Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Malu berarti meninggalkan semua tendensi di hadapan Allah swt.Abu Bakr al- Wasithy bertutur : “Ketika aku shalat dua rakaat kepadaAllah swt. Tiba-tiba kau membatalkannya karena merasa malu seperti seorang pencuri (yang tertangkap basah).”

29.KEBEBASANFirman Allah swt. :“.....dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin)  atas diri mreka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” Qs. Al-Hasyr :9).Syeikh berkata : “Mereka (kaum Anshar) memberikan dengan penuh kemurahan hati kepada kaum Muhajirin, sebab mereka (kaum Anshar) bebas dari keterikatan pada (harta benda) yang diterima oleh kaum Muhajirin itu, dan dengan demikian mereka mampu memberi dengan penuh kemurahan hati.”Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. R.a bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :“Apa pun yang mencukupi kebutuhan seseorang , adalah apa yang cukup untuk dirinya. Semua hanya akan berakhir pada empat hasta dan sejengkal tanah kuburan, dan segala sesuatu akan kembali pada tempat kembalinya.”Syeikh berkata : “Kebebasan berarti bahwa si hamba bebas dari belenggu sesama makhluk; kekuasaan makhluk tidak berlaku atas dirinya. Tanda absahnya kebebasan adalah, bahwa tersingkirnya pembedaan tentang segala hal dalam hatinya, sehingga semua gejala duniawi sama di hadapannya.”Haritsah r.a. mengatakan kepada Rasulullah saw. : “Saya telah menjauhi dunia. Batu dan emas yang ada di bumi tidak da bedanya bagi saya.”Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang yang datang ke dunia ini dalam keadaan bebas darinya, akan berangkat ke akhirat dalam keadaan bebas pula.” Dalam sebuah ucapannya pula : “Orang yang hidup di dunia dalam keadaan bebas dari dunia, akan bebas pula dari akhirat.”Syeikh berkata : “Ketahuilah bahwa hakikat kebebasan diperoleh dari kesempurnaan ubudiyah, sebab jika ubudiyahnya benar, maka kebebasannya dari belenggu akan sempurna. Mengenai mereka yang menghayalkan bahwa ada waktu dimana seseorang boleh melepaskan ibadat dan berpaling dari hukum yang tersirat dalam perintah dan larangan Allah swt. sementara dirinya dalam keadaan mukallaf, maka tindakan itu keluar dari agama.”Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw. :“Beribadahlah kepada Tuhanmu hingga datang kepadamu keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).Para ahli tafsir sepakat bahwa “keyakinan” di sini berarti “saat kematian.”Manakala para sufi berbicara tentang kebebasan, yang mereka maksud adalah, bahwa si hamba tidak berada di bawah perbudakan oleh sesama makhluk ataupun diperbudak oleh perubahan keadaan kehidupan duniawi ataupun ukhrowi; ia akan menunggalkan diri kepada Allah Yang Esa. Tidak sesuatu pun yang memperbudaknya, baik perkaraduniawi yang bersifat sementara, pencarian kepuasan bawa nafsu, keinginan, permintaan, niat, kebutuhan ataupun ambisi.Asy-Syibly pernah ditanya : “ tidak tahukan  Anda bahwa Allah Maha Penyayang?” Beliau menjawab: “Tentu. Tapi, karena aku telah tahu bahwa Dia Maha Penyayang, maka aku tidak pernah meminta kepada-Nya agar menyayangiku. Dan maqamkebebasan sungguhlah mulia.”Abul Abbas as-Sayyary pernah bika shalat sah selain membaca Al-Qur’an, tentu sah pula membaca bait syair ini :Setiap zaman aku menginginkan yang mustahil.Agar kelopak mataku bisa melihat wajah kebebasan.Para Syeikh telah berbicara banyak tentang kebebasan. Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Barangsiapa menghendaki kebebasan, hendaklah meraih ubudiyah.”Ketika al-Junayd disodori kasus seseorang yang kekayaan duniawinya hanya sebesar embun yang menempel di burtir kurma, ia berkata : “Hamba yang masih terikat kontrak akan tetap menjadi hamba selama ia masih memiliki satu dirham sekalipun.” Ia juga mengatakan : “Engkau tidak akan dapat mencapai kebebasan sejati selama masih ada sisa dunia dalam hakikat ubudiyah.”Bisyr al-Hafi berkta : “Barangsiapa menginginkan rasa kebebasan dan ringan dalam ubudiyah, maka bersihkanlah batinnya, antara ia dan Allah swt.”Al-Husain bin Mnashur berkomentar : “Ketika orang mencapai maqam ubudiyah, segalanya tampak bebas dari belenggu ubudiyah, Lalu ia melakukannya tanpa beban, Itulah maqam para Nabi dan kaum shiddiqin. Maksudnya, ia sendiri dipikul oleh maqam tersebut; tanpa kesusahan, walaupun tetap konsistendengan syariat.”Manshur al-Faqih membacakansyair berikut :Tak ada seorangpun manusia atau jin yang bebasKebebasan baginya berlaluKemanisan hidup adalah kegetiranKetahuilah bahwa jenis kebebasan paling besar justru ketika melayani orang-orang miskin.Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, bahwa Allah telah mengajarkan kepada Daud as. : “Jikaegkau menjumpai seorang manusia yang mencari-Ku, maka jadilah dirimu sebagai pelayan.”Nabi saw. bersabda : “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”(H.r. Abu Abdurrahman as-Sulami).Yahya bin Muadz  mengatakan: “Generasi duniawi dilayani budak-budak laki-laki dan wanita, generasi akhirat dilayani mereka yang merdeka dan saleh.”Ibrahim bin Adham berkata : “Orang bebas yang mulai telah keluardari dunia lebih sbeleum ia dikeluarkan dari dunia (wafat).”Dikatakannya pula : “Janganlahbersahabt, kecuali dengan orang mulia yang bebas, ia hanya mendengar namun tidak banyak bicara.”

30DZIKIRAllah swt. berfirman :“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Qs. Al-Ahzab :41).Diriwayatkan bawah Rasulullah saw. Bersabda :“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalan terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah swt. serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotonglehermu?” Para sahabat bertanya : “Apakah itu? Nabi menjawab: Berdzikir kepada Allah swt. (H.r. Baihaqi).Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :“Hari kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang mengucapkan : “Allah, Allah.” (Hr. Muslim).Anas ra. Juga menuturkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Kiamat tidak akan datang sampai lafazh, Allah, Allah,’ tidak lagi disebut-sebut di muka bumi.” (H.r. Tirmidzi).Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt. kecuali dengan terus menerus dzikir kepada-Nya.”Ada dua macam Dzikir : Dzikir lisan dan dzikir hati. Si hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir lisan. Tetapi dzikir hati lah yang membuahkan pengaruhsejati. Manakala seseorang melakukan dzikir dengan lisan dan hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam suluknya.”Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Dzikir adalah tebran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berati telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat.Dikatakan bahwa pada awal perjalanannya, Dulaf asy-Syibly biasa berjalan di jalan raya setiap hari dengan membawa seikat cambuk di punggungnya. Setiap kali kelaian memasuki hatinya, ia akan melecut badannya sendiri dengan cambuk sampai cabuk itu patah. Kadang-kadang bekal cambuk itu habis sebelum malam tiba. Jika demikian ia akan memukulkan tangan dan kakinya ke tembok manakala kelalaian mendatanginya.”Dikatakan : “Dzikir hati adalah pedang para pencari yang dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari setiap ancaman yang tertuju pada mereka. Jika si hamba berlindung kepada Allah swt. dalam hatinya, maka manakala kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt, semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu juga.”Ketika al-Wasithy ditanya tentag dzikir, menjelaskan  : “Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalahkan rasa takutdan disertai kecintaan yang luar biasa.”Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Seorang yang benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allahakan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu.”Abu Utsman ditanya : “Kami melakukan dzikir lisan kepada Allah saw. tetapi kami tidak merasakan kemanisan dalam hati kami?” Abu Utsman measihatkan : “Memujilah kepada Allah swt, karena telah menghiasi anggota badanmu denganketaatan.”Sebuah hadits yang mashur menuturkan, bahwa Rasulullah saw. mengajarkan :“Apabila engkau melihat surga,maka merumputlah kamu semua di dalamnya.” Ditanyakan kepada Beliau : “Apakah taman suraga itu, wahai Rasulullah?” Beliau mennjawab : “Yaitu kumpulan orang-orang yang melkukan dzikir kepada Allah>” (H.r. Tirmidzi).Jabir bin Abdullah menceritakan : “Rasulullah saw. mendatangi kami dan beliau bersabda :“Wahai umat manusia, merumputlah di taman surga!.” Kami bertanya : “Apakah taman surga itu?” Beliau menjawab : “Majelis orang melakukan dzikir.” Beliau bersabda : “Berjalanlah di pagi dan petang hari, dengan berdzikir. Siapa pun yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah swt. melihat pada derajat mana kedudukan Allah swt. pada dirinya. Derajat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sepadan dengan derajat dimana hamba mendudukan-Nya dalam dirinya.”Asy-Syibly berkata : “Bukanlah Allah swt. telah berfirman : “Aku bersama yang duduk berdzikir kepada-Ku?” Manfaat apa, wahai manusia dari orang yang duduk dalam majelis Allah swt?” Lalu ia bersyair berikut :Aku mengingta-Mu bukan karena aku lupa pada-Mu sesaat;Sedang bagian yang paling ringan adalah dzikir lisanku.Tanpa gairah rindu aku mati karena cinta,Hatiku bangkit dalam diriku, bergetarKetika wujud memperlihatkan Engkau adalah hadirku,Kusaksikan Diri-Mu di mana saja,Lalu aku bicara kepada yang ada, tanpa ucapan,Dan aku memandang yang kulihat, tanpa mata.Di antara karakter dzikir adalah,bahwa dzikir tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu, kecuali si hamba diperintahkan untuk ber dzikirkepada Allah di setiap waktu, entah sebagai kewajiban ataupun sunnah saja. Akan tetapi,shalat sehari-hari, meskipun merupakan amal ibadah termulia, dilarang pada waktu-waktu tertentu. Dzikir dalam hati  bersifat  terus menerus, dalam kondisi apa pun, Allah swt. berfirman :“Yaitu orang-orang yang dzikir kepada Allah, baik sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (tidur).” (Qs. Ali Imran:191).Imam Abu Bakr bin Furak mengatakan : “Berdiri berarti menegakkan dzikir yang sejati, dan duduk berarti menahan diri dari seikap berpura-pura dalam dzikir.”Syeikh Abu Abdurrahman bertanya kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq : “Manakah yang lebih baik, dzikir atau tafakur?” Bagaimanayang lebih berkenan bagimu?” Beliau berkata : “Dalam pandanganku dzikir adalah lebih baik dari tafakur, sebab Allah swt. menyifati Diri-Nya sebagai Dzikir dan bukannya fikir. Apap pun yang menjadi sifat Allah adalah lebih baik dari sesuatu yang khusus bagi manusia.” Maka Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq setuju dengan pendapat yang bagus ini.Muhammad al-Kattany berkata: “Seandainya bukan kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertikuberdzikir kepada Allah swt? Tanpa membersihkan mulutnya dengan seribu Taubat karena berdzikir kepada-Nya.”Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan syair :Tak pernah aku berdzikir kepada-MuMelainkan hatiku, batinku serta ruhku mencela diriku.Sehingga seolah-olah si Raqib dari-Mu berbisik padaku,“Waspadalah, celakalah engkau. Waspadalah terhadap dzikir!.”Salah satu sifat khas dzikir adalah, bahwa Dia memberi imbalan dzikir yang lain. Dalam firman-Nya :“Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.” (Qs. Al-Baqarah :152).Sebuha Hadits menyebutkan bahwa Jibril as. Mengatakan kepada Rasulullah saw. bahwasanya Allah swt. telah berfirman : “Aku telah memberikan kepada ummatmu sesuatu yang tidak pernah Kuberikan kepada ummat yang lain.” Nabi saw. bertanya kepada Jibril : “Apakah pemberian itu?” Jibril menjawab : “Pemberian itu adalah firman-Nya, “Berdzikirlah kepadaKu, niscaya Aku akan berdzikir kepadamu.” Dan belum pernah memfirmankan itu kepada ummat lain yang mana pun.”Dikatakan : “Malaikat maut minta izin dengan orang yang berzikir sebelum mencabut nyawanya.”Tertulis dalam sebuah kitab bahwa Musa as. Bertanya : “Wahai Tuhanku, di mana engkau tinggal?” Allah swt. berfirman : “Dalam hati manusia yang beriman.” Firman ini merujuk pada dzikir kepada Allah, yang bermukim di dalam hati, sebab Allah Maha Suci dari setiap bentuk “tinggal” dan penempatan. “Tinggal” yang disebutkan di isni hanyalah dzikir yang tetap dan sekaligus menjadikan dzikir itu sendiri kuat.Ketika Dzun Nuun ditanya tentang dzikir, ia menjelaskan : Dzikirberarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya.” Lalu ia mebacakan syair :Aku banyak berdzikir kepada-Mu bukan karenaAku telah melupakan-Mu;Itu hanyalah apa yag mengalir dari lisanku.Sahl bin Abdullah mengatakan: Tiada sehari pun berlalu, kecuali Allah swt. berseru : “Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahaianak Adam, apa yang akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan-Ku?”Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Di surga ada lembah-lembah di mana para malaikat menanam pepohonan, ketika seseorang mulai berdzikir kepada Allah. Terakdang salah seorang malaikat itu berhenti bekerja dan teman-temannya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau berhenti?” Ia menjawab : “Sahabatku telah kendur dzikirnya.”Dikatakan : “Carilah kemanisan dalam tiga hal : shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana , ataujika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.”Ahmad al-Aswad menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan perjalanan bersama Ibrahim al-Khawwas, kami tiba di suatu tempat yang dihuni banyak ular. Ibrahim al-Khawwas meletakkan kualinya dan duduk begitu pun denganku. Ketika malam tiba dan udara menjadi dingin, ular-ular pun berkeliaran. Aku berteriak kepada Syeikh, yang lalu berkata, “Dzikirlah kepada Allah!” Aku pun berdzikir, danakhirnya ular-ular itu akhirnya pergi menjauh. Kemudian mereka datang lagi. Aku berteriak lagi kepada Syeikh, dan beliau menyuruhku berdzikir lagi. Hal itu berlangsung terus sampai pagi. Ketika kami bangun, Syeikh berdiri dan meneruskan perjalanan, dan aku pun berjalan menyertainya. Tiba-tiba seekor ular besar jatuh dari kasur gulungnya, Kiranya semalam ular itu telah tidur bergulung bersama beliau.Aku bertanya kepada Syeikh : “Apakah Anda tidak merasakan adanya ular itu?” Beliau menjawab : “Tidak. Sudah lama aku tidak merasakan tidur nyenyak seperti tidurku semalam.”Abu Utsman berkata : “Seseorang yang tidak dapat merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir.”As-Sary menegaskan : “Tertulisdalam salah satu kitab suci : “Jika dzikir kepada-Ku menguasai hamba-Ku, maka ia telah asyik kepada-Ku dan Aku pun asyik kepadanya.” Dikatakan pula : “Allah mewahyukan kepada Daud as. : “Bergembiralah kepada-Ku dan bersenang-senanglahdengan dzikir kepada-Ku!.”Ats-Tsaury mengatakan : “Ada hukuman atas tiap-tap sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah terputus dari dzikir kepada-Nya.”Tertulis dalam Injil : “Ingatlah kepada-Ku ketika engkau dipengaruhi oleh kemarahan, dan akuakan ingat kepadamu ketika aku marah, Bersikap ridhalah dengan pertolongan-Ku kepadamu, sebab itulebih baik bagimu dari pertolonganmu kepada dirimu sendiri.”Seorang pendeta ditanya : “Apakah engkau sedang berpuasa?” Ia menjawab : “Aku berpuasa dengandzikir kepada-Nya. Jika aku mengingat selain-Nya, maka puasaku batal.”Dikatakan : “Apabila dzikir kepada-Nya menguasai hati manusiadan setan datang mendekat, maka iaakan meggeliat-geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat-geliat manakala setan-setan mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka semua setan akan berkumpul dan bertanya : “Apa yang telah terjadiatas dirinya?” Salah seorang dari mereka akan menjawab : “Seorang manusia telah menyentuhnya.”Sahl berkata : “Aku tidak mengenal dosa yang lebih buruk, darilupa kepada Allah swt.”Didkatakan bahwa malaikat tidak membawa dzikir batin seorang manusia ke langit, sebab ia sendiri bahkan tidak mengetahuinya. Dzikir batin adalah rahasia antara si hambadengan Allah swt.”Salah seorang Sufi menuturkan: “Aku mendengar cerita tentang seorang laki-laki yang berdzikir di sebuah hutan. Lalu aku pergi menemuinya. Ketika ia sedang duduk, seekor binatang buas mengigitnya dan mengoyak dagingnya. Kami berdua pingsan. Ketia ia siuman, aku bertanya akepadanya tentang hal itu, dan ia berkata kepadaku : “Binatang itu diutus oleh Allah. Apabila engkau kendor dalam berdzikir kepada-Nya, ia datang kepadaku dan mengigitku sebagaimana yang engkau saksikan.”Abdullah Al-Jurairy mengabarkan : “Di antara murid-murid kami ada seorang laki-laki yang selalu berdzikir dengan mengucap “Allah” “Allah”. Pada suatu hari sebatang cabang pohon patah dan jatuh menimpa kepalanya.Kepalanya pun pecah dan darah mengalir ke tanah mebentuk kata-kata Allah-Allah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar