8.FANA’ DAN BAQo’
Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara baqa’ diisyaratkansebagai kejelasan sifat-sifat terpuji.
Kalau pun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut, maka dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.Perlu diketahui, bahwa predikatyang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan, akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya. Sedangkan akhlakmerupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut konsistensikebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula manakala sang hamba terus menerus membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah swt.memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia telahfana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhuddi dunia dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam mekanismehukum dan aturan, maka dapat dikatakan : Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk. Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dansiapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang disaksikan, baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatanseperti itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau telah fana’dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an dari semua itu tidak boleh di-maujud-kan.Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya dan dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga juga tidak mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan makhluk menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya maupun semua makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang penuh dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih luhur dari semuanya.)”Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana.Alangkah jauh jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman :“Maka tatkala wanita-wanita itumelihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari tangannya.” (Qs. Yusuf 31).Suatu gambaran ketika merekasama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka berkata :“Dan mereka berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31).Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut Fana’u Fana’ ). Sebagaimanadigambarkan penuyair :Ada kaum yang tersesat di padang gersangAa pula yang tersesat di padang cintanyaMereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.Yang pertama adalah fana’ daridirinya, fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq. Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.
9.GHAIBAH DAN HUDHURGhaibah berarti kegaiban kalbudari segala apa yang diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa.Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan akibat-akibat pelakudosa yang dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian katanya.Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas ditanya tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar, lebih dari kobaran api itu.” Jawabnya.Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah laku kondisinya.Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya,yaitu ketika muncul seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari kedai.Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku dalam-dalam,seakan-akan itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernahsekali, aku bertemu denganmu, siapakamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh kemenangan dan waktu,ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!”Sedangkan Hudhur, bisa berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk, ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, kaerna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal, maka kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.Kadang-kadang hudhur dikatakan, karena kembalinya hambapada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama makhluk. Yang pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya beragam. Adayang pendek gaibnya, adapula yang abadi.Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali pulang ke rumah Dzun Nuun,mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka yang pergi kepada Allah swt.”
10.SHAHUW DAN SUKRShahw adalah kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami kegaiban (ghaibah). Dan Sukr adalah mabuk ruhani akibat sesuatu yang datang dengan sangat kuat. Sukr berati tambahan bagi ghaibah di satu sisi. Karena itu orangsukr, kadang-kaang terhamparkan dirinya, manakala berlum terpenuhi dalam sukr-nya. Kadang-kadang apda tahap sukr, segala kekhawatiran berguguran dari kalbunya. Itulah perilaku orang yang menampakkan sukr, karena tidak mampu memenuhi datangnya bisiskan yang luhur. Kdang, dalam kesadaran ada kesegran, lalu mabuk pesonanya bertambah atas ghaibah-nya. Terkadang seorang yang sukr lebih ghaibah ketimbang orang yang sedang berada dalam ghaibah itu sendiri mana kala sukr-nya lebih kuat. Dan tidak jarang orang yang ghaibah itu lebih sempurna dalam ghaibah-nya dibanding orang yang sukr, manakala sukr-nya tidak mencapai apa yang diinginkan.Sedangkan ghaibah, terkadang datang kepada para hamba karena adanya sesuatu yang mengalahkan kalbunya, disebab disiplin cinta sukacita, khauf dan raja’. Sementara sukr tidak akan terwujud, kecuali kepada orang yang memiliki keseuaian- kesusaian ruhani. ApabilaAllah swt. membuka hamba melalui sifat Keindahan (al-Jamal), maka hamba akan mabuk kepayang (sukr),dan ruhnya menjdai gembira, sementara kalbunya terpesona. Dalam sukr yang muncul akibat mukasyafah Jamal, mereka mendengarkan syair :Kesadaranmu dari kata-Ku,Adalah sambung semuanayaDan mabuk kepayangmu dari bagian-KuMemperkenankan bagimu, meneguk minumanTak bosan-bosan peminumnyaTak bosan-bosan peenguk minumnyaMenyerah pada bagian,Yang gelas pialanya memabukkan jiwa.Merek masih bersyair :Orang-orang menjadi mabuk memutari gelas pialaSedang mabukku datang dari Yang MemutarnyaAda dua kemabukan bagikuDan bagi dua penyessal hanya satuYang dikhususkan bagiku di antara merekaHanya untukkuDua mabuk kepayangMabuk cintaMabuk abadiKetika siumanTiba-tiba telah bugas si pemabukAnda perlu mengetahui bahwa, derajat kesadaran (Shahw) tergantung pada frekuensi mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa yang sukr-nya bersama Al-Haq, maka Shahw-nya juga bersama Al-Haq, barangsiapa sukr-nya masih diliputi oleh dunia, maka Shahw nya juga disertai dunia yag benar. Barangsiapa menepati kebenaran dalam sikap perilaku, maka ia terjagadalam sukr-nya. Sukr dan Shahw mengisyaratkan pada ujung dari pemisahan. Manakala tampak dari kekuasaan hakikat, mka sifat hamba diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka bersyair :APabila pagi telah terbit dengan bintang yang gembiradi dalamnya telah seimbang kemabukan dan kesukacitaanAllah swt. berfirman :“Tatkala Tuhannya menampak pada gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (Qs. Al-A’raaf :143).Itulah pengalaman dalam Risalah Musa as, dan apalagi gunungdan kekuatannya menjadi lebur berkeping-keping.Sang hamba dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi ruhani itu sendiri, dan dalam dalam Shahw-nya ia menyaksikan ilmu. Hanya saja dalam tingkah sukr-nya terjaga, tidak melalui beban yang diupayakan. Sedangkan dalam Shahw-nya terjagamelalui upayanya. Shahw dan Sukr terjadi setelah Dzauq dan Syurb.
1.DZAUQ DAN SYURBDi antara bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah Dzauq dan Syurb. Mereka mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa yang mereka temukan dari buah tajali dan buha mukasyaah serta kejutan-kejutan yang muncul. Tahap pertamaadalah Dzauq, kemudian Syurb, lalu Irtiwa’.Kejernihan muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq) makanwi, dan ketepatan tahap-tahapmereka mengharuskan adanya minum (syurb). Sementara keabadian hubungan mereka (wushul) mengharusskan adanya kesegaran (irtiwa’).Orang yang memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang yang sedang syurb melahirkan kemabukkan. Orang yang irtiwa’ selalu menjerit. Dan siapa yang kuat cintanya, maka abadi pula minum-nya. Apabila sifat-sifat seperti itu abadi, syurb tidak melahirkan mabuk (sakran). Dan ia selalu menjerit bersama Al-Haq sebagai orang yang fana’ dari segala jagad makhluk, sama sekali tidak berbpengaruh baginya apa yang datang, dan tidak berubah, apa yang menyertainya. Barangsiapa jernih sirr-nya, maka minum-nya tidak akan pernah keruh. Dan siapa yang menjadi peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar dan tidak pernah abadi tanpa konsumsi itu. Mereka bersyair :Gelas minuman adalah susuna kitaKalau tak kita rasakanTak hidup pula itaDalam syair mereka :Aku heran orang yang bicara : Aku inngat TuhankuApakah aku alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa?Kuminum cita, gelas demi gelas pialaTuntas habis minuman, tak puas dahaga pulaYahay bin Mu’adz menulis surat kepda Abu Yazid al-Bisthamy, “Di sana, orang yang meminum gelasdari kecintaan, tiada dahaga usainya.” Lalu Abu Yazid menulis surat kembali. “Aku heran atas kelemahan dirimu di sana. Sebab siapa yang merasa di samudera jagad raya, ia akan hilang keberuntungannya.”Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub tampak dari kegaiban. Dan Anda tidak bisa mengelilingi, kecuali dengan rahasia-rahasia kemerdekaan dan ruh-ruh bebas dari segala belenggu.
12.MAHUW DAN ITSBATMahuw berarti hilangnya sifat-sifat kebiasaan. Dan Itsbat berarti menegakkan hukum-hukum ibadat. Barangsiapa menghapus perilaku hinanya dan menggantikannya dengan perilaku mulia, maka dialah yang memiliki mahuw dan itsbat.Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian para syeikh berkata pada kaum Sufi, “Bagaimana Anda mengalami mahw dan itsbat? Lalu orang itu diam, kemudian berkata : “Adapun yang kuketahui, waktu adalah mahw dan itsbat. Sebab siapa yang tidak memiliki mahw dan itsbat, berarti telah menelantarkan diri dan terabaikan.”Mahw terbagi dalam mahw sirna (zallat) dari hal-hal yang lahiriahdan mahw alpa (ghaflat) dari hal-hal yang batiniah, serta mahw dari bentuk sebab (Illat) pada hal-hal rahasia.Dalam mahw zallat muncul itsbat pada muamalat. Pada mahw ghaflat muncul itsbat pada tahapan-tahapan, dan dalam mahw illat muncul itsbat dalam wushul. Inilah mahw dan itsbat sebagai syarat ubudiyah.Sementara hakikat mahw dan itsbat, masing-masing tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yangditutup dan disirnakan tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yangditutup dan disirnakan ole Al-Haq. Dan Itsbat, segala hal yang dditampakkan dan dijelaskan oleh al-Haq. Mahw dan itsbat dibatasi oleh Kehendak.Allah swt. berfirman :“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki)” (Qs. Ar-Ra’ad : 39).Dikatakan : “Allah swt. menghapus dzikir selain-Nya dari hati orang-orang ‘Arifin (Orang yang ma’rifat). Dan Allah menetapkan pada lisan orang-orang yang menuju kepada Allah swt. dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq pada setiap orang, danpeng-itsbat-an Allah swt. kepdanya, sesuai kelayakan tingkah lakunya.”Barangsiapa di mahw-kan oleh Allah swt. dari penyaksian, Allah swt. memberikan itsbat dengan kekuatan Haq-Nya. Dan siapa yang di-mahw oleh AL-Haq dari itsbat-nya, Allah mengembalikan pada penyaksian jagad dunia, dan ditetapkan dalam wahana perpisahan.Seseorang bertanya kepada asy-Syibly r.a. : “Apa yang membuat diriku melihatmu tampak gelisah? Bukankah Dia bersamamu dan engkau bersamam-Nya? Asy-Syibly berkata : “Kalau aku adalah aku bersama-Nya, tentu, aku adalah aku. Tetapi aku pun terhapus dalam wahana-Nya. Orang yang dikaruniani keterhangusan berada di atas majw. Karena mahw meninggalkan bekas. Sedangkan orang yang terhapus (muhaq) tidak meninggalkan bekas. Sementara cita-cita kaum Sufi adalah, agar ereka dihanguskan oleh Al-Haq dari segala penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada mereka seperti semula setelah mereka dihanguskan dalam ruhani itu.
13.SITR DAN TAJALLI
Orang awam berada dalam tutup (sitr). Dan orang khawash berada dalam keabadian manifestasi(tajalli). Dalam suatu hadis, Allah swt. apabila telah ber-tajalli terhadapsesuatu, maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-Nya.Orang yang berada dalam tahap sitr memakai sifat penyaksiannya. Dan orang yang berada dalam tahap tajjali, selamanya disertai sifat khusyu’nya.Sitr, bagi awam merupakan siksaan, dan bagi khawash (kalangankhusus dalam ruhani) merupakan rahmat. Sebab tanpa ia tertutupi apa yang tersingkap dalam diri mereka, nisscaya akan musnah di sisi Yang Maha Diraja Hakikat. Namun, sebagaimana tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap pun tertutup pada mereka.Manshur al-Maghriby berkaa : “Aku menemui salah sorang fakir dalam kehidupan orang Arab, diantaranya terdapat seorang pemuda. Pemuda itu melayani sang fakir. Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Lalu si fakir bertanya tentang keadaannya. Maka orang-orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki kemenakan wanita, dan ia sangat cinta kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di kemahnya, tiba-tiba pemuda itu melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudain pemuda itu pun pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju pintu kemah, sambil berkata kepada anak gadis itu. “Sesuatu yang asing bagimu, menjadi tutup dan cacian. Aku datang hendak menolongmu berkenaan dengan pemuda ini. Makasebaiknya engkau kasihan terhadap apa yang ada pada dirinya, dari cintanya kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!” Engkau orang yang berhati sehat. Sebenarnya ia tidak tahan melihat kekumalanku, lalu bagaimana ia kuatmeneemaniku?”Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan (tajalli), sementara cobaan mereka ada dalam ketertutupan (sitr). Bagi orang-orang khawash, mereka selalu berada di antara ketidak pedulian dan kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan diri kepada mereka, justru mereka acuh, namun ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia, sehingga mereka hidup.Ada yang mengatakan, ketika Allah swt. berfirman kepada Musa, “Apa yang ada pada tanganmu wahaiMusa.” (Qs. Thaaha :17), justru agar Musa tertutupi sebagian apa yang menjadi sebab langsung yang berpengaruh akibat mukasyafah, lewat kejutan penyimakan.Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri merupakan upaya pencarian sitr. Dan ampunan (maghfirah) adalah sitr. Seakan-akan ia mengabarkan, bahwa ia mecari str pada hatinya ketika didatangi keperkasaan hakikat. Sebab bagi makhluk, tidak sedikit pun ada keabadian di sisi Wujdu Al-Haq. Dalam hadis disebutkan : “Apabila dibuka Wajah-Nya, pastilah kesucian Wajah-Nya (Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat oleh pandangannya.”(Hr. Muslim).
14.MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN MUSYAHADAHMuhadharah, berarti kehadiran kalbu, stelah itu baru Mukhasyafah, yakni kehdiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu Musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan. Apabila langit rahasia (sirr) telah bersih dari mega sitr, maka matahari penyaksian tepancar dari bintang kemuliaan.Kebenaran musyahadah, seperti diungkapkan oleh al-Junayd r.a. “Wujdu Al-Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang bertahap Muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang Muhadharah ditunjukkan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musysahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya.”Tidak ada tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih dari apa yang dikatakan oleh Amr binUtsman al-Makky r.a. Arti dari yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi kalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan dalam kiltan yang bersambung. Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak terputus, maka jadilah cahaya siang. Begitupun kalbu, apabila keabadian Tajalli tampak terus menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam samak sekali.Dalam syair yang mereka lantunkan :Malamku, dengan Wajah-Mu terang benderangDan kegelapannya merambah manusiaManusia berada dalam kegulitaan,Sedang kami ada di cahaya benderang siangAn-Nury berkata : “Seorang hamba tidak sah ber-musyahadah, sepanjang masih hidup. “Apabila subuh telah terbit, tak perlu lagi lampu.”DaKetika terang subuh tiba,Beredarlah cahayanya, dengan cahayanyaCahaya-cahaya gemerlap bintangCahayatertelan gelas,Jika saja tersimpan bara karena menelannyaTerbanglah secepat-cepatnyaGelas piala, dan gelas piala manakah yang menghancurkan dan menyirnakan, menghanguskan mereka dari diri mereka sendiri, sementara tak satu pun gelas piala yang mengabadikan dan memercikan mereka. Gelas yang menghapus mereka secara menyeluruh dan tiada menyisakan tulang belulang dari pengaruh-pengaruh sifat-sifat kemanusiaan. Sebagaimana diucapkan : Mereka berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan tidak ada pengaruh.
15.LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’Kata-kata tersebut makananya saling berdekatan, nyaris tidak ada perbedaan besar. Kata tersebut merupakan sifat-sifat dari orang yang sedang dalam tahap permulaan(bidayat). Mereka yang sedang menaiki tahap dalam kalbu. Sehingga cahaya matahari ma’rifat tidak menetap abadi dalam diri mereka. Namun Allah swt. mendatangkan rezeki kalbunya dalam setiap saat.Sebagaimana Allah swt. berfirman :“Bagi mereka rezeki mereka di dalamsurga, pagi dan petang.” (Qs. Maryam : 62).Apabila langit kalbu dipenuhi mega dunia, terbayanglah kilatan kasyaf bagi mereka, dan tampaklah kilatan taqarrub. Mereka dalam zaman yang menutup mereka, sedang mereka mengintai ekjutan kilatan itu. Mereka seperti digambarkan dalam syair :Wahai kilatan yang cemerlangDari sayap-sayap lagnit yang benderangLawaih sebagai tahap pertama,disusul Lawami’, kemudian Thawali’. Lawaih seperti kilatan cahaya, tidak akan tampak sehingga cahayanya tertutup. Dalam syair dikatakan :Kami berpisah setahunKetika kami bertemuSeakan salamnya padakuSalam selamat tinggalMereka berkata :Wahai orang yang berjalan,Dan bukan pezarah sebenarnyaSeakan ia terkena apiLewat di depan pintu rumah tergesa-gesaPadahal tak ada bencanaJika ia memasukinyaSedangkan Lawami’ lebih jelas daripada Lawaih. Hilangnya cahaya tidak secepat itu. Lawami’ disinari cahaya beberapa waktu. Namun seperti ucapan syair : Dan mata menangis, tak puas-puasnya memandang.Dalam syair mereka berkata pula :Tak sampai air wajahnya di mataKecuali telah penuhSebelum puasnya mendekatBila telah tampak cahayanya, iamemutus dirimu dan mengumpulkanmu dengan cahaya itu. Tetapi cahaya siangnya tidak berlalu sampai pasukan-pasukan malam menyerang. Mereka beada di antara pasukan Ruh dan Nuh. Karena mereka berada di antara Kasyaf dan Sitr. Mereka bersyair :Sedang malam mengandung kitaDengan dinginnya yang mencekamSementara subuh, menyingkap selimut kita.Thawali’ lebih lama dan abadi waktunya, lebih kuat dominasinya dan lebih abadi ketetapannya. Thawali’ mampu menghapus kegelapan dan menyirnakan keraguan. Tetapi tetap berada dalambisikan yang lenyap. Tidak terlalu tinggi, tidak pula berdiam abadi. Waktu-waktu memperolehnya dengan perjalanan yang cepat dan ihwal lenyapnya berbuntut panjang.Makna-makna dari Lawaih, Lawami’ dan Thawali’ tersebut berbeda-benda disiplinnya. Antara laian, ketika kehilangan jejak, tidak sedikitpun memberkas. Sepeti kilatan-kilatan, ketika lenyap, seakan-akan malam panjang nan abadi yang ada. Ada pula yang meninggalkan bekas, apabila hllang angkanya, yangada tinggal dukanya. Apabila cahaya-cahayanya asing, yang tetap beks-bekasnya. Orang akan berada ditahap tersebut setelah menghuni luapannya, hidup dalam sorotan berkatnya. Lanatas pada hamparan ke dua kalinya, ia berharap dengan waktunya untuk menunggu kembalinya cahaya itu, dan ia hidup dengan sesuatu yang ditemui, pada saat adanya itu.
16.BUWADAH DAN HUJUMBuwadah adalah sesuatu yagn seketika datang mengejutkan kalbu Anda dari dimensi ghaib, terkadang karena adanya faktor kesukacitaan atau kedukacitaan. Sedangkan Hujum, sesuatu yang datang pada hati dengan kekuatan waktu tanpa rekayasa dari diri Anda.Berbagai ragam bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan dankelemahan sesuatu yang tiba. Di antaranya ada orang yang diubah oleh Buwadah, namun pada kesempatan berikutnya diaplikasikanoleh Hujum. Dan diantaranya ada yang berada di atas apa yang mengejutkannya, baiks ecara potensimaupun aktual. Mereka adalah kaumyang dipenuhi kebajikan dan kemuliaan. Sebagaimana dikatakan :Jangan kau membuat petunjukPengganti zaman kepada merekaBagi mereka ada kendaliPada setiap Khitab yang agung
17.TALWIN DAN TAMKINTalwin merupakan sifat orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan.Tamkin adalah sifat ahli hakikat. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke persimpangan jalan. Tetapi jika telahsampai, mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun).Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di suatu tempatBimbangkan jiwa, di mana tempat menetapOrang yang berada di tahap talwin selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu : Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan.Salah seorang syeikh berkata : “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju kemenangan dalam jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka telah samapi.”Mereka berharap demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam kondisiitu, dialah pemilik tamkin itu.Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin, kemudian kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. adalah pemilik tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa yang disaksikan pada malam itu, tidak berpengaruh. Kisah demikian juga dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang melihat Yusuf as.Ketika mereka secara bersamaan memotong jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as. Dengan tampang yang menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak hati itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam peristiwaYusuf as.Ketahuilah, bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan : Kalau tidak karena adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya.Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla : Karena kekuatan atau karea kelemahan sesuatu yang tiba itu.Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pad dua hal.Pertama, tidak ada jalan lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. dalam Hadits Qudsi :“Apabila kamu mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para Malaikat akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).Sabdanya pula :“Aku punya waktu (khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnyakecuali Tuhanku.” (H.r. Tirmidzi).Kedua, sah berada dalam kondisi kelanggengan, mengingta ahli hakikat melakukan tahapan dari sifat yang mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam hadits di atas, “ ... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama sekali bukan hal yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak apda kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkansayapnya pada pencari ilmu, sebagairasa ridha terhadap apa yang dilakukan.” (H.r. Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan Baihaqi).Sedangkan sabdanya : “Aku punya waktu (khusus).” Dikondisikan menurut persepsi pendengar. Namundalam seluruh tingkah laku Nabi saw.senantiasa berdiri di atas hakikat.Yang pertama, bisa dikatakan : Seorang hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan berkurang. Apabila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan cara tidak dikembalikan pada penyakit-penyakitnafsu, maka ia disebut Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt. mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya. Karenanya, jika hamba senantiasa dalam tahap yang bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena tiadalagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis manapun. Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan secara universal relevan dengan rasanya, maka tiada batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya seisinya, jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap talwin maupun tamkin, tidak ada maqam ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat tersebut, ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali jika ia dikembalikan menurut kondisi di luaritu semua, maka ia berada dalam situasi dimana dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq.Alalh swt. berfirman :“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu tidur danKami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18).
18.QURB DAN BU’DAwal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah kedekatan hamba dalam taatnya dandisiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d (penjauhan) adalah pengotoran diri dengan menentang dan menghampakan diri terhadap taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh dari taufiq, kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.Dalam Hadits Qudsi dijelaskan,Nabi.s aw. Mengabarkan dari Allah swt.“Para hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku wajibkan kepada mereka. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui ibadat-ibadat sunnah, sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia mendengar.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan pembenarannya. Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di dunia ini didapati melalui kema’rifatan. Kelak di akhirat, hamaba dimuiakan untuk menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara masing-masing kedekatan itu,melalui kelembutan dan anugerah.Kedekatan hamba kepada Allah swt. tidak akan terwujud kecuali kajuhan hamba dari makhluk.Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum fisikal lahriah dan alam.Kedekatan Allah swt. termanifestasi melalui sifat Ilmu dan Qudrat yag bersifat universal dan umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus bagi orang-orang beriman. Kemudian dengan pemberian anugerah “Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para Wali-Nya. Allah swt. berfirman : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya.” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya pula : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “Dan Dia bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Qs. Al-Hadid : 4) “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (Qs. Al-Mujaadilah : 7).Siapapun yang secara hakiki dekat dengan Allah swt. minimal ia harus muraqabah kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan senantiasa mawas iri dengan takwa, kemudian mawas diri pada hukum Allah swt. dan kesetiaan, disusul kemawasan tehadap rasa malu. Mereka mendengarkan nada-nada syair :Seakan si Raqib menjaga getaran hatikuYang lain menjaga pandangan dan ucapankuTak ada selayang pandang di kedua matakuYang memburamkan Diri-MuMelainkan engkau katakanBenar-benar engkau memandang-KuTiada yang cemerlang kata yang meluncurDari mulutku selain Diri-MuMelainkan Engkau katakan, benar, engkau mendengarDengan pendengaran-KuTiada getar hati dalam rahasiaGetran selain Diri-MuMelainkan engkau telah naik dengan pertolongan-KuSahabatku telah membosankan ucapannyaAku membisu dari mereka, pandangan dan lisankuBukanlah pelarianku dari duniaYang melupakan diriku dari merekaHanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksiankuDi mana pun juaSalah seorang syeikh menguji para santrinya. Masing-masing santrinya diberi seekor burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah burung ini, namun jangan diketeahui oleh siapa pun !.” Mereka pun pergi ke suatu tempat, dimana tak seorang pun melihatnya, lalu disembelihlah burung itu di tempat yang sepi. Namun ada salah seorang yang datang menghadap kepada syeikh tersebut, dengan membawa burungnya semula, tanpa disembelih.Syeikh itu menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih burung tersebut. Ia menjawab, “Engkau memerintahkan diriku untuk menyembelih burung itu,dengan syarat tidak diketahui siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat, kecuali Allah swt. melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan ini, kehormatan kuberikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya diantara kalian hanya bertumpu pada makhluk. Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt. Dan memandang kedekatan berarti hijab bagi kedekatan itu sendiri.”Siapa yang memandang dirinyasebagai tempat berpijak atau bernafas, maka dirinya terkena makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga Allah swt. menjagamu dari kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya, apabila Andamenemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah kebahagiaan spiritual yang disebabkan kedekatan-Nya merupakan perlambang keagungan. Karena Allah swt, itu sendiri berada di belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan ruhani.Mereka bersyair :Cobaanku padamu, bahwa dirikuTak peduli dengan cobaankuDekatmu bagai jauhmuKapankah tiba, waktu istirahatku?Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-bait ini :Kinasihmu adalah perpisahanCintamu adalah kebencianDekatmu adalah jauhDamaimu adalah perangAbu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah Anda salah seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada al-Qurb?Kalau Anda bertemu dengan belaiu sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya : “Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah jauh (al-bu’d). Jika yang dimaksud adalah dekat dengan Dzat,maka, Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan makhluk, begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat keagungan Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan materi, dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang dikhususkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan.
19.SYARIAT DAN HAKIKATSyariat adalah disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah Ketuhanan. (Musyahadah Ketuhanan (rububiyah): artinya melihat dengan kalbu. Hal ini terungkap bahwa syariat merupakan sarana mengetahui penempuhan jalan Allah swt. Sedangkan Hakikat adalah kelestarian memandang kepada-Nya.Tharikat adalah menempuh jalan syariat tersebut, yakni mengamallkanaturan-aturannya). Catatan kaki).Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima. Sebaliknya Hakikat yang tidak dikukuhkan dengan syariat, tidak akan suskes.Syariat turun dengan tugas-tugas dari Sang Khalik, sementara hakikat merupakan implementasi pelaksanaan kebenaran. Syariat berarti Anda menyembah-Nya, sedangkan Hakikat berarti Anda Menyaksikan-Nya. Syariat berarti bangkit sesuai dengan apa yang diperintahkan, sementara Hakikat adalah menyaksikan apa yang di qadha-kan dan ditakdirkan, apa yang tersembunyi dan apa yang tampak.Saya mendengar Syeikh Abi Aliad-Daqqaq berkata : “(Kepada-Mu kami menyembah)” adalah menjaga syariat, dan “(Kepada-Mu kami meohon pertolongan)” adalah ikhtiar dengan hakikat.Perli diketahui, syariat itu sendiri adalah hakikat, bila dilihat bahwa syariat adalah keharusan melalui perintah-Nya. Begitu pun hakikat adalah syariat, dari segi bahwa ma’rifat kepada-Nya, karena perintah-Nya.
20.N A F A SNafas adalah hembusan kalbu melalui kelembutan-kelembutan kegaiban. Orang yang memiliki nafas(ruhani), lebih lembut dan lebih jernihdibading yang memiliki ahwal ruhani.Pemilik waktu adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah pangkalnya. Pemilik tingkah kesufian (ahwal) berada di antara keduanya. Orang-orang yang berada pada tahap awal adalah pemelihara ruh, sedangkan pemilik nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia Ketuhanan.Para Sufi berkata : “Sebaik-baikibadat adalah menghitung nafas (hati) bersama Allah swt.”Mereka juga berkata : “Allah swt. menciptakan kalbu, dan dijadikan kalbu itu sebagai tambang ma’rifat. Allah swt. mencipta rahasia di balik kalbu, dan dijadikan sebagai tempat tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul dari bukti-bukti ma’rifat dan setiap isyarat tauhid dalam bentangan kerumitan, adalah mayat, yang pemiliknya akan dimintai pertanggungjawaban.”Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang Arif” nafas tidak berserah kepadanya, karena tidak ada toleransi yang mengalir menyertainya. Sedangkan bagi sang pecinta, nafas adalah keharusan. Kalau tidak ada nafas, pastilah ia akan musnah.”
21.AL-KHAWATHIRAl-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa) adalah bisikan yang menghujam ke dalam rasa; terkadang muncul dari Malaikat, terkadang dari setan, atau sekedar ungkapan nafsu, dan bahkan pula bisikan langsung dari Allah swt. YangMaha Benar.Apabil bisikan datang dari malaikat, disebut Ilham. Jika muncul dari hawa nafsu disebut Hawajis. Dan bila datang dari setan disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah swr. DisebutBisikan Kebenaran (Khathir Haq).Indikasi secara keseluruhan, apabila bisikan datang dari para malaikat, bisa diketahui kebenarannya bila bisikan itu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, para Ulama Sufi berkata : “Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil.” Apabila bisikan itu datang dari setan, rata-rata mengandung pada kemaksiatan. Begitupun yang datang dari nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menurut syahwat, atau rasa takabur.Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu banyak makan makanan haram, tidak akan bisa membedakan mana bisikan yang bersifat ilham dan mana yang waswas.Saya mendengar Syeikh Abu aliad-Daqqaq berkata : “Siapa yang makanan utamanya diketahui (keharamannya), ia tidak akan bisa membedakan antara ilham dan waswas. Sementara orang yang menghindari hasrat nafsunya, dengan cara mujahadah yang benar, kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui perlawanan terhadapnasunya.”Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa dibenarkan. Sedangkan kalbu tidak bisa ditipu. Apabila Anda mujahadah semaksimal mungkin, agar ruh membisikan kepada Anda, pastilah ruh tidak akan membisikan sesuatu kepada Anda.An-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan : bahwa naffsu itu, apabila menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akankembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itubenar-benar meraih kemauannya danmencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda. Sementara setan, ketika menjerumuskan Anda melalui godaannya, kemudian Anda menentangnya, maka setan akan kembali mempengaruhi Anda dengan godaan lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Danbaginya, tidak ada peringatan dalam penjerumusan itu.Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang dari para malaikat, kadang-kadang cocok di hati si penerima bisikan, terkadang juga tidak. Namun apabila bisikan langsung dari Allah swt. sama sekali si hamba tidak menetang-Nya.”Para Syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutny. “Apabila bisikan dari Allah swt. apakah bisikannya alebih kuat dibanding bisikan pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu masih ada, orang yang mendapat bisikan kembali pada refleksinya, dan dalam kaitan ini, perlu persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan bisikan pertama berarti melemahkan bisikan kedua.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar