Senin, 03 Juli 2017

risalah qusyairiyah 18

43.TAUHID
Allah swt. kberfirman :“Dan Tuhan kamu sekalian adalah Tuhan Yang Esa.” (Qs. Al-Baqarah :163).




Rasulullah saw. bersabda :“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada keluarganya, “Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkan separo tubuhku di darat dan separohnya lagi di laut pada saat angin kencang.” Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah swt. berfirman pada angin, “Kemarikan apa yang kami ambil.” Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Alalh swt. bertanya pada orang tersebut, “Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?” Dia menjawab : Karena malu kepada-Mu.” Kemudian Allah swt. mengampuni-nya (H.r. Bukhari).Tauhid adalah suatu hubungan bahwa sesungguhnya Allah swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa dikatakan tauhid pula. Dikatakan, Wahhadathu, apabila Anda menyifati-Nya dengan sifat Wahdaniyah. Seperti dikatakan :“Anda berani dengan si Fulan bila Anda dihubungkan dengan sifat keberanian (syaja’ah).”Dari segi etimologi (lughat) disebutkan, wahhada, yahiddu, fahuwa waahid, wahd dan wahiid. Seperti diucapkan : Farrada fahuwa faarid, fard dan fariid. Akar kata Ahada, adalah wahada, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan dhammah, diganti.Makna eksistensi Allah swt. sebagai berifat Esa didasarkan ucapan ilmu. Dikatakan : “Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk disifati dengan penempatan dan penghilagnan.” Berbeda dengan ucapan Anda, manusia satu, berarti Anda mengatakan, ‘manusia tanpa tangan dan tanpa kaki.” Sehingga dibenarkan hilangnya sesuatu dari organ manusia. Sedangkan Allah swt. adalah ketunggalan Dzat.”Sebagaian ahli hakikat berkata: “Arti bahwa Allah itu Esa, adalah penafian segala pembagian terhadapDzat, penafian terhadap penyerupaantentang Hak dan Sifat-sifat-Nya, serta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi dan Cipta-Nya.”Tauhid ada tiga kategori : Pertama, tauhdi Allah swt. bagi Allah swt. yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah esa. Kedua, tauhidnya Allah swt. terhadapmakhluk, yaitu ketentuan-Nya, bahwahamba adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut tauhidnya hamba. Ketiga, tauhidnya makhluk terhadap Alalh swt. yaitu pengetahuan bahwa Allah swt. Yang Maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa. Ketentuan dan Khabar dari-Nya, menegaskan bahwaDia adalah Esa. Semua wacana ini mengandung artian tauhid dalam ungkapan yang ringkas.Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang tauhid, ia berkata, “Hendaknya engkau ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap makhluk ini tanpa ada campur tangan; cipta-Nya terhadap segala sesuatu tanpa unsur luar; tak ada sebab langsung segala yang ada adalah ciptaan-Nya; ciptaan-Nya pun tidak ada cacat. Setiap yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu (tentang Alalh),,maka Allah swt. pasti berbeda.”Ahmad al-Jurairy berkata : “Tidak ada bagi ilmu tauhid kecuali sekedar ucapan tentang tauhid saja.”Al-Junay ditanya seputar tauhid, jawabnya : Menunggalkan Yang Ditunggalkan melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan keparipurnaan Tunggal-Nya, bahwa Dia adalah Yanga Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan dan keserupaan; tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpagambran dan tamsil. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”Al-Junayd berkomentar : “Bila akal para pemikir sudah mencapai ujungnya dalam tauhid, akan berujung pada kebingungan.” Saat kembali ditanya soal tauhid, al-Junayd menjawab : “Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dandidalamnya terkandung sejumlah ilmu. Sedangkan Alalh sebagaimana Ada-Nya.”Al-Hushry berkata : “Prinsip amaliah tauhid kita mendasarkan pada lima hal : Menghilangkan sifat baru (hadits); menunggalkan Yang Qadim; menghindari teman (yang mungkar); berpisah dari tempat tinggal; dan melupakan apa yang diketahui dan tidak.”Manshur al-Maghriby berkata : “Tauhid adalah mengugurkan seluruhperantara ketika terliput oleh perilakuruhani, dan kembali kepada perantara itu di sisi hukum, sebab kebajikan-kebajikan tidak akan merubah pembagian, apakah celaka atau bahagia.”Al-Junayd ditanya soal tahidnya kalangan khusus. Ia berkata: “Hendaknya hamba menengadahkan di sisi Alalh swt.; dimana urusan-urusan Allah berlaku di sana dalam lintasan hukum-hukumkekuasaan-Nya dalam arungan samudera tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari ajakan makhluk dan menjawab ajakannya, melalui  hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dan geraknya karena Tegaknya Alalh swt. sebagaimana kehendak-Nya : yaitu sang hamba dikembalikan pada awalnya. Sehingga ia sebagaimana adanya, sebelum dirinya ada.”Al-Busyanjy ditanya tentag tauhid : “Tidak adanya keserupaan Dzat dan tidak adanya faktor penafian sifat.” Jawabnya.Sahl bin Abdullah ditanya soal Dzat Allah swt. Dia menejawab : “Dzat Allah swt. disifati dengan sifat Ilmu, tetapi tidak bisa dditerka melalui jangkuan, tidak terlihat melalui mata di dunia. Allah swt. maujud melalui kebenaran iman, tanpa dibatasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata akan memandang di akhirat nanti, yang Tampak di kerajaan dan kekuasaan-Nya. Makhluk telah tertirai dalam mengenal eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt. menunjukkan melaui ayat-ayat-Nya. Hati mengenal-Nya, sedang akal tidak menemukan-Nya. Orang-orang yang beriman melihat-Nya dengan mata hati tanpa adanya jangkauan dan penemuan ujungnya.”Al-Junayd berkata : “Kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah apa yang telah diucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. : “Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya mengenal-Nya.”Al-Junayd mengomentarinya : “Diaksudkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. bahwa Allah swt. itu tidak bisa dikenal. Sebab menurut ahli hakikat, yang dimaksud dengan tidak berdaya,a dalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu pula orang yang ‘arif (mengenal Allah swt.) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud di dalam dirinya, karena sifatnya yag langsung. Menurut kalangan Sufi, Ma’rifat kepada Allah swt. pada ujung terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma;rifat yang dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma;rifat itu merupakan hakikat.” Ash-Shiddiq r.a. sedikitpun tidak memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan cahayanya membias pada lampu itu.”Al-Junayd berkata : “Tauhid yang dianut secara khusus oleh para Sufi, adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun tidak diketahui, dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.”Yusuf ibnul Husain berkata : “Siapa yang tercebur dalam samudera tauhid, tidak akan bertambah dalam waktu yang berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus menerus.”Ada seseorng berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin Manshur: “Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana yang ditunjukkan kaumSufi?” Husain menjawab : “Dia-lah Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak disebabkan oleh apa-pun.”Al-Junayd berkata : “Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.” Al-Junaydberkata pula : “Ilmu tauhid melipat hamparannya sejak duapuluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama membincangkan dalam hatinya.”Dulaf asy-Syibly berkata : “Siapa yag meliaht sebiji sawi ilmu tauhid, ia akan lunglai membawa sisa-sisa kulitnya, karena berat bebannya.”Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang hanya diucapkan melaluilisan kebenaran secara tersendiri. Beliau berkata : “Celaka Anda!” Siapayang menjawab tauhid melalui ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa yang menunjukkan lewat isyaratanya padatauhid, berarti ia menyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti ia alpa. Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh. Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya, berarti dia tidak sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa yang merasa menemukan-Nya, berarti telah kehilangan. Semua yangAnda istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna, maka sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada Anda. Semua merupakan sesuatu yang dicipta dan terbuat seperti eksistensi Anda sendiri.”Yusuf ibnul Husain berkata : “Tauhidnya orang khusus, yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstasedan kalbunya. Seakan-akan ia bediri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang berlaku dalam aturan-Nya dan hukum-hukum Qudrat-Nya, mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena tegak-Nya al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-Nya, Maka, sebagaimana dikatakan, bahwa ia hendaknya berada dalam arus ketentuan Allah swt.”Dikatakan : “Tauhid hanya bagi Allah swt. sedangkan makhluk hanyalah benalu.”Dikatakan : “Tauhid berarti mengugurkan “kekuatan” karenanya jangan bicara : “Bagiku, denganku, dariku dan kepadaku.”Abu Bakr ath-Thamastany ditanya : “Apakah tauhid itu?” Beliau menjawab : “Yaitu tauhid, muwahhaddan muwahhid, semuanya berjumlah tiga.”Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tauhid berarti melebur unsur-unsur kemanusiaan, dan manunggal dengan Ketuhanan.Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata menjelangakhir hayatya, di saat sakitnya mulai parah : “Salah satu tanda keteguhan hati, adalah memelihara tauhid dalam waktu-waktu kenetuan huku,”. Kemudian beliau berketa seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda dipotong oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotong-potong, sedang Anda tetap bersyukur dan memuji.”Asy-Syibly berkata : “Tak akan mencium bau tahid, orang gyang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Tahap mula bagi orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya adalah fana’ dari ingatan atas segala hal dari hatinya, kecuali hanya kepada Alalh swt.”Asy-Syibly berkata pada seseorang : “Apakah Anda mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka dijawab sendiri oleh asy-Syibly: “Karena Anda mencarinya melalui diri Anda.”Ibnu Atha’ berkata : “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan tauhid hanya Sat.”Dikatakan : “Pada diri manusia ada golongan yang dalam tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan ini bersama Allah swt.Diantaranya ada yang terbuka melalui hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal selain Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al-Jam’u) secara batin. Dan lahiriahnya, melaluilewat diskripsi keragman.”Al-Junayd ditanya tentang tauhid : “Aku mendengar orang bersayir :Betapa kaya hatikuMenjadi kaya seperti DiaKami sebagaimana mereka adaDan mereka sebagaimana kami ada.”Ditanyakan kepada al-Junayd : “Keahlian Anda (di bidang) Al-Qur’an dan Haditst?” Al-Junayd menjawab : “Tidak. Tetapi orang yang menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dan ucapan terendah dan teringan.”

44.KELUAR  DARI  DUNIAAllah berfirman :“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka) “Salaamun’alaikum” masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. An-Nahl :32).Ayat tersebut memiliki maksudbahwa kebajikan jiwa mereka dengan mencurahkan ruh mereka, sehingga mereka kembali kepada Tuhannya, dengan jiwa kyang tidak berat.Riwayat dari Anas r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :“Sesungguhnya seorang hamba akan berurusan dengan kesusahan maut dan sakaratul maut, dan sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan salam (perpisahan) satu sama lainya dengan kata-kata, “Alaikassalaam” engkau berpisah denganku, dan aku berpisah denganmu, sampai (jumpa)di hari kiamat nanti.”Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi saw. sedang menjenguk seorang pemuda yang mendekati ajalnya. Nabi saw. bertanya : “Bagaimana maut menemui Anda?” Pemuda itu menjawab : “Aku berharap kepada Allah swt. dan aku takut akan dosa-dosaku.”Rasulullah saw. bersabda, “(Harapan bertemu Allah dan rasa takut akan dosa-dosa) tidak akan berkumpul di hati hamba, dalam tempat ini, kecuali Allah swt, memberikan padanya apa yang diharapkannya, dan memberikan rasa tentram dari apa yang ditakuti....”Ketahuilah bahwa perilaku mereka saat menghadapi ajal (naza’)berbeda-beda. Diantaranya ada yang terlimpahi rasa takut namun disertai rasa hormat (haibah), adapula yang dilimpahi rasa harapan (raja’)  dan di antara mereka ada yang dibuka oleh Allah swt. sekertika itu akan hal-hal yang berkaitan dengan keharusan mereka untuk tentram dan tenang serta keteguhan yang baik.Ahmad al-Jurairy berkata : “Akusedang di sisi al-Junyad ketika naza’nya. Saat itu hari Jum’at dan kebetulan tahun baru. Junayd sedangmembaca Al-Qur’anu; Karim, hingga mengkhatamkannya. Pada saat itu aku berkata : “Hai Abul Qasim!” lantas dia menjawab : “Siapa yang lebih layak (mengkhatamkan Al-Qur’an menjelang ajal) daripada aku, dan inilah, lembaranku dibentangkan.”Abu Muhammad Abdullah al-Ibrahim al-Harawy berkata : “Aku menghampiri rumah asy-Syibly pada malam ketika ajalnya tiba. Sepanjangmalam itu dia mendendangkan syair berikut :Setiap rumah, Engkau penghuninyaTak butuh lagi pada lenteraWajah-Mu yang diharapkanAdalah hujjah kamiDi hari ketika berduyun-dduyun manusiaDengan hujjah-hujjahnya.Bisyr al-Hafi ditanya ketika maut hendak menjemputnya : “Tampaknya Anda mencintai dunia, wahai Abu Nashr?” Maka al-Hafi menjawab : “Datang kepada Allah Azza wa Jalla sungguh dahsyat.”Dikisahkan, bila Sufyan at-Tsaury menjenguk sebagian murid-muridnya, senantiasa berkata kepada mereka : “Bila kalian menemukan maut, belikan untukku.” Ketika wafatnya akan tiba, beliau berkata : “Kami sungguh mengharapkannya, tetapi, tiba-tiba maut itu sungguh dahsyat.”Didkatakan : “Ketika al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib mendekati wafatnya, beliau menangis. Maka ditanya : “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab : “Aku bakal datang kepada Tuan Yang bernah kulihat.”Ketika Bilal mendekati ajalnya, sang istri meratap : “Duhai betapa sedihnya ....” maka Bilal menimpali : “Oh, betapa girangnya, esok kami menemui para kekasih : Muhammad dan tentaranya.”Dikatakan : “Abdullah ibnul ubarak membuka kedua bola matanya menjelang wafat, dan tiba-tiba tertawa, sembari mengumandangkan ayat suci : “Untuk kemenangan serpa ini hendaklah berusaha orang-orang yang beramal.” (Qs. Ash-Shaffat : 61).Dikatakan bahwa Abdullah ibnul Mubarak sedang dirundung duka, kemudian, kemudian orang-orang menjenguknya saat menjelangkematiannya, sedangkan ia tampak tertawa. Kemudian ia ditanya soal tertawanya itu : “Mengapa aku tidak boleh tertawa?” Sedangkan perpisahan dengan yang paling kujauhi telah dekat, sementara tiba lebih cepat pada Dzat Yang benar-benar kuharapkan begitu mendekat?”Ruwaym bin Ahmad berkata : “Aku hadir pada saat menjelang wafatnya Ahmad bin Isa al-Kharraz. Ketika itu, pada detik-detik terakhir nafasnya ia menguntaikan syair :Ratapan rindu kalbu ‘arifin ketika mengingtaKenangan mereka di waktu munajat bagi rahasiaKetika piala diputar di antara mereka para pengharapMereka terapung dari dunia, melayangBagai para pemabuk yang kepayangCita-citanya mengembara di kemah-kemahDi sana para pecinta Allah bagai binntang-bintang cemerlangTubuh-tubuhnya mati di muka bumi karena cintanyaSedangka arwahnya dalam tiraimembubung tinggiTiada kemesraan pengantin mereka, kecuali Kedekatan Sang KekasihSedang bencana dan keburukanTak pernah menyentuh.”Dikatakan pada la-Junayd, bahwa Abu Sa’id al-Kharraz banyak ekstase di saat menjelang mautnya. Al-Junayd menjawab : “Bukan hal yang menakjubkan, jika ruhnya terbang menggapai kerinduan.”Sebagian Sufi berkata, saat-saat dekat ajalnya : “Hai Ghulam! Cincanglah ketiakku, dan pendamlah pipiku dalam debu ...! Selanjutnya mengatakan : “Perjalanan telah dekat, dan susngguh bagiku tak terbebas dari dosa, tiada keringanan yang bisa dilakukan, tiada kekuatan yang bisa menolong, Engkau hanya untukku, Engkau hanya bagiku....? Kemudian si Sufi berteriak, lantas mati. Tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya mendengar suara : “Seorang hamba hidup tena g di sisi Tuhannya, dan diterima oleh-Nya.”Dikatakan kepada Dzun Nuun al-Moshry menjelang wafatnya : “Apakeinginan Anda?” Jawabnya : “Aku ingin mengenal-Nya sebelum kematianku, walaupun sejenak.”Dikatakan kepada salah seorang Sufi menjelang ajalnya : “Ucapkan : “Allah” Ia menjawab : “Sampai kalian semua menyuruhku begitu, sedangkan aku sendiri terbakar dalam Allah swt.?”Sebagian mereka berkata : “Suatu ketika aku sedang berada di tempat Mumsyad ad-Dinawary, tiba-tiba ada seorang fakir datag seraya berucap : “Assalamu’alaikum”. Mereka yang hadir menjawab salamnya. Si Fakir itu berkata : “Apakah di sini ada tempat yag bersih, yang memungkinkan bisa ditempati oleh manusia yang mati?” Mereka menunjukkan sebuah tempat dan sebuah mata air. Si fakir itu lantas mendatangi tempat tersebut, mengambil air mudhu, shalat dan ... masya Allah Azza wa Jalla  --- mendatangi tempat yang ditunjukkanoleh mereka, kemudian menjulurkan kakinya, lalu mati.”Suatu hari Abul Abbas Ahmad ad-Dinawary sedang berbicara dalammajelisnya. Tiba-tiba seorang wanita berteriak, karena ekstase. Ahmad berkata padanya : “Suatu kematian?” Lalu wanita itu berdiri, dan ketika sampai di pintu rumah, wanita itu menoleh pada Ahmad sembari berkata : “Aku telah mati, dan aku benar-benar menjadi mayit.”Salah seorang Sufi mengisahkan : “Aku sedang berada di rumah Mumsyad ad-Dinawary menjelang wafatnya, lalu dikatakan kepadanya : “Bagimana dengan penyakit Anda?” Dia menjawab : “Lupakanlah dariku penyakit itu, bagaimana Anda menemukan diriku?” Lalu dikatakan padanya : “Ucpakanlah Laa Ilaaha Illallaah”. Kemudian ia palingkan wajahnya ke tembok, sambil mengucapkan : “Aku telah musnah kesseluruhanku pada-Mu, inilah balasan bagi orang yang mencintai-Mu.”Dikakatakan kepada Muhammad ad-Dubaily ketika menjelang wafatnya : “Ucapkan, Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu dia menjawab : “Ucapan ini sudah kami kenal, bahkan dengan ucapan tersebut kami fana’”Kemudian beliau membacakansyair :Engkau memakai pakaian linglung,Ketika engkau terpesona dengan-NyaDia menolak dan tak relaTak sudi dirimu adalah hamba-Nya.Dikatakan kepada asy-Syibly menjelang wafatnya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu asy-Syibly mendendangkan syair :Berkatalah penguasa cintanyaAku tak menerima yang lainBertanyalah dengan yang lainMengapa kematian ia berurusan?Ahmad bin Atha’ berkata : “Aku mendengar salah seorang fakir berkata : “Ketika Yahya al-Ashtakhry akan meninggal, kami duduk di sekitarnya, lantas alah seorang di antara kami berkata : “Ucapkalah Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas beliau duduk lurus, kemudian meraih tangan salah ssatu dari kami, dan berucap : Katakanlah, Asyhadu an-Laa Ilaaha Illaallaah.” Lalu meraih tangan yang lain sampai syahadt tersebut merata pada semua hadirin.Barulah kemudian beliau meninggal.”Diriwayatkan dari Fatimah saudari Muhammad ar-Rudzbary : “Ketika saudaraku (Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary) mendekati ajal, kepalanya ada di pangkuanku, sedangkan kedua bola matanya terbuka, sembari berkata : “Inilah, pintu-pintu langit terbuka, dan surga itu benar-benar telah dihiasi, dan inilah orang yang berkata padaku : “Wahai Abu Ali, kami telah menghantarkanmu ke tahapan yang tinggi, walaupun engkau belum sampai ke sana.” Lalu Abu Ali membacakan syair :Demi Hak-Mu, sungguh tak kupandang selain Diri-Mu.Dengan mata cinta, sehingga aku melihat-MuAku melihat-Mu, ketika hilang sejenak menjadi siksaanDan dengan pipi bertulip mawar merah petikan-Mu.Salah satu Sufi berkata : “Aku melihat seorang fakir asing yang membiarkan dirinya, sementara lalat mengerumuni wajahnya. Lalu aku duduk mengibaskan lalt-lalat itu dari wajahnya, sampai kemudian matanya terbuka, dan berkata : “Siapakah engkau? Sejak sekian tahun aku mencari waktu yang menjernihkan diriku, dan selalu begitu, kecuali sekarang ini. Engkau datang, menceburkan dirimu di dalamnya. Pergilah, semoga Allah swt. mengampunimu.”Saya mendengar Abu Hatim as-Sijistany berkata : “Aku mendengar Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Penyebab wafatnya Abul Husain Ahmad an Nury adalah dikarenakan mendengarkan sebuah syair ini :Aku senantiasa menempatiLembah dari cinta-MuKetika sematam, lubuk jiwa menjadi lingling.”Ahmad an-Nury mengalami ekstase dan linglung di tengah padang pasir. Lalu jatuh di rimba belukar yang sudah ditebang, namun akar-akarnya masih menonjol, tajam seperti pedang. Anehnya, an-Nury berjalan di atas akar-akar itu, kembalipulang sampai esok hari. Darah mengalir dari kedua kakinya, kemudian ia tersungkur seperti orangyang mabuk. Kedua telapan kakinya membengkak, dan akhirnya meninggal dunia. Pada riwayat lain diceritakan, ketika beliau menjelang wafat, dikatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah,” lalubeliau menjawab : Bukankah pada ucapan itu aku kembali.”Saya juga mendengar Ab Manshur al-Maghriby berkata : “Yusufibnu Husain menjenguk Ibrahim al-Khawwas, setelah sekian lama Yusuf tak pernah mengunjunginya. Ketika melihat Ibrahim, Yusuf bertanya kepadanya : “Apakah engkau ingin sesuatu?” Ibrahim menjawab : “Benar, sepotong limpa panggang.”Maksud ucapan Ibrahim tersebut, kemungkinan adalah : “Aku inginkan hati yang lembut terhadap si fakir, dan limpa panggang yang menghangatkan orang asing.”Dikisahkan : “Sebab kematian Ahmad bin Atha’, yakni ketika ia memasuki rumah seorang menteri, lantas sang menteri bicara dengan ucapan kasar. Lalu Ibnu Atha’ berkata : “Tenanglah Anda ....!” Tiba-tiba sang menteri itu memukulnya dengan sepatu dan mengenai kepalanya, hingga wafat pun menjemputnya.”Abu Bakr Muhammad ad-Duqqy berkata : “Kami sedang berada di tempat Abu Bakr az-Zaqqaq pada pagi hari, lalu az-Zaqqaq berkata, “Tuhanku, berapalama lagi diriku Engkau tempatkan disana?” Dan keesokan pagi, ia telah meninggal dunia.”Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Rudzbary, yang mengisahkan : “Aku melihat di padangpasir seorangpemuda. Ketika ia melihatku, ia berkata, “Adapun yang mencukupinya, pesonanya padaku dengan cintanya, hingga membuatkumenderita.” Lalu aku melihatnya dalam keadan jiwa yang lembut, sembari kukatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lanatas ia mendendangkan syair :Wahai yang tiada bagiku jauh dari-NyaBila ia menyiksaku, memang itulah setimpalnyaWahai yang meraih hatikuSepadan yang tiada batasnya.”Dikatakan kepada al-Junayd : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas Junayd menjawab : “Aku tak pernah melupakannya, dan selalu mengingatnya.” Dia kemudian bersayir :Yang selalu hadir dalam gairah di hatikuTak pernah kulupakan, maka selalu kuingat.Dia-lah Tuanku dan SandarankuBagianku dari-Nya lebih sempurna.Ja’far bin Nashr bertanya pada Bakran ad-Dinawary – di mana dia sedang melayani asy-Syibly – “Apa yang Anda lihat dari Asy-Syibly?” Ia menjawab : “Asy-Syibly pernah berkata : “ “Aku punya dirham gelap, dan kau telah menyedekahkannya beberapa ribu. Dalam hatiku tak ada rasa mengganjal yang lebih besar dari dirham itu.” Lantas dia berkata : “Wudhukan aku untuk shalat.” Aku pun mewudhukannya. Ketika itu aku lupa menyela-nyela air pada jenggotnya, padahal aku menahankan air pada mulutnya, lantas beliau menahankan air itu pada tanganku dan kemudian menyelakan pada jenggotnya, lantas beliau wafat.” Mendengar kisha itu Ja’far menangis tersedu, dan berkata: “Apa yang kalian katakan itu, tentang seorang lelaki yang tak pernah melewatkan adab dari adab-adab syariat, hingga akhir hayatnya.”Ali-al-Muzayyin berkata : “Saat sedang berada di Mekkah al-Mukarramah --- semoga Alalh swt. menjaganya --- Tiba-tiba aku merasa gelisah. Lantas aku ingin berangkat ke Madinah al Munawarah. Ketika aku sampai ke Bi’ru Maimun, tiba-tiba seorang pemuda terlempar. Aku mencoba menggugahnya, namun ia kelihatan naza’. Kukatakan padanya : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah!.” Lantas kedua matanya terbuka, dan kemudian menguntaikan syair :Aku, bila mati, cintaku telah memenuhi hatikuSedang awal asmara telah mematikan kemuliaan.Selanjutnya pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan, lantas mati. Aku memandikan, mengafani dan menshalatinya. Ketika selesai memendamnya, aku tidak berhasrat untuk meneruskan perjalanan. Aku pun kembali ke Mekkah --- Semoga Allah swt. menjaganya.”Dikatakan kepada salah seorang Sufi :”Apakah Anda mencintai maut?” Ia menjawab : “Datang kepada orang yang diharapkan kebaikannya itu llebih baik daripada menetap bersama orang yang tidak percaya keburukannya.”Diriwayatkan dari al0Junayd, yang mengatakan : “Aku sedang berada di tempat guruku, Ibnu Karainy, ketika beliausudah merelakan ddirinya. Lalu kulihat langit, dan beliau berkata : “Jauh!” lalu kulihat bumi, beliau pun berkata :“Jauh!” Yakni, Dia itu lebih dekat dibandign Anda memandang ke langit maupun k bumi. Bahkan Dia ada sebelum langit dan bumi.”Saya mendengar ssalah seorang sahabt kami berkata : “Abu Yazin berkata menjelang wafatnya : “Aku tak pernah ingat pada-Mu kecuali ketika lupa, dan Engkau tak pernah menggenggamku, kecuali saat jeda.”Abu Ali Muhammad ar-Rudzbary berkata : “Aku memasuki negeri Mesir, dan kulihat orang-orang berkumul, seraya berkata : “Kita sedang berada dalam iringan jenazah seorang pemuda yang meninggal karena mendengar orang menguntaikan syair :Betapa besar dosa hambaYang ambisi sekali melihat-Mu.Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali teriakan, lantas mati.”Dikisahkan : “Sekelompok orang menjenguk Mumsyad ad-Dinawary yang sedang sakit. Mereka berkata padanya : “Apa yang dilakukan Allah swt. pada Anda?” Ad-Dinawary menjawab : “Sejak tigapuluh tahun ini aku ditawari surgadan seisinya, namun aku tak pernah menolehkan pandanganku.” Mereka bertanya di saat dia sedang naza’ : “Bagaimana Anda menemukan hati Anda?” Dia menjawab : “Sejak tigapuluh tahun, aku kehilangan hatiku.”Sebab kematian Abul Husain bin Bannan, adalah ganjalan dalam hatinya yang menyebabkan kebingungan arahnya. Orang-orang menjumpainya tersesat di daerah kalangan Bani Israil, dalam keadaan tertimpa pasir. Kemudian ia membuka matanya dan berkata : “Bermewah-wewahlah, sebab inilah kemewahan para kekasih.” Lalu nyawanya keluar dari tubuhnya.Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury berkata : “Ketika aku sedang berada di Mekkah al Mukarramah – semoga Allah swt. menjaganya – tiba-tiba datang seorang fakir dengan membawa dinar. “Bila besok tiba, aku pun mati. Tolong butakan kuburanku dari separo dinar ini, separo lainnya untuk persiapanku.” Aku berkata dalam hati; anak muda ini tidak waras, dan dia sedang tertimpa kekuranagn. Ketika esok hari tiba, ia datang kembali, masuk ke masjid dan tawaf. Kemudian berlalu dan menjejak-jejakan kakinya pada tanah. “Itu dia, pura-pura mati.” Kaaku. Aku pun menghampirinya danmenggerakkannya. Ternyata ia benar-benar mati. Akhirnya sebagaimana pesannya, aku pun menguburkannya.”Dikatakan : “Ketika keadaan Abu Utsman Sa’id al-Hiry mengalami perubahan, anaknya, Abu Bakr merobek gamis. Lalu Abi Utsman membuka matanya, berkata : “Hai anakku, menetang sunnah dalam bentuk lahiriah tergolong riya’dalam batin.”Dikatakan : “Ketika Ahmad memasuki rumah al-Junayd, sedangkan Junayd telah rela untuk mati, Ahmad menucapkan salam. Namun jawabannya terlambat, walauakhirnya menjawab pula. Setelah itu al-Junayd berkata : “Maaf, aku sedang dalam wiridku.” Setelah itu al-Junayd meninggal.”Diriwayatkan oleh Abu Ali ar-Rudzbary : “Ada seorang fakir datang pada kami, lalu mati. Aku punmenguburkannya, dan ketika wajahnya kubuka untuk kuletakkan diatas tanah, agar Alalh swt. mengasihidalam pengasingannya, tiba-tiba kedua matanya terbuka, dan berucap: “Wahai Abu Ali, apakah engkau menghinakan diriku di sisi Dzat Yang memanjakanku?” Aku berkata : “Saudaraku, apakah ada kehidupan setelah mati?” Ia menjawab : “Bahkan aku ini hidup. Dan orang yang mencintai Allah swt. selalu hidup. Esok nanti tiada yang membahayakanmu, demi kebesaranku, wahai Rudzbary.”Diriwayatkan dari Abul Hasan Ali al-Ashbahany, yang berkata : “Apakah kalian semua melihat diriku mati seperti orang-orang yang mati itu, ada sakit dan ada pula orang-orang yang menjenguk. Ketika aku dipanggil “Wahai Ali” aku pun menjawabnya.” Pada suatu hari Ali sedang berjalan, sembari menjawab panggilan orang : “Labbaik.” Kemudian ia mati.Abul Hassan Ali al-Muzayyin berkata : “Ketika Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury sakit menjelang wafatnya, di sat naza’nya aku mengatakan padanya : “Ucapkan : “Laa Illaha Illallaah>”, lalu beliau tesenyum padaku sembari berucap : “Yang kau maksud itu aku? Demi Keagungan Dat Yang tak pernah merasakan kematian, tak ada antara diriku dengan-Nya, kecuali hijab keagungan.” Lalu saat jadi padam (wafat).” Selanjutnya Ali al-Muzayyn memegangi jenggotnya dan berkata :“Pembekam seperti diriku ini, menuntun syahadat para wali Allah swt?” Al-Muzayyin merasa malu, dan ia selalu menangis bila ingat kisah ini.Abul Husain al-Maliky berkata : “Aku berguru pada an-Nassaj beberpa tahun. Delapan hari menjelang kewafatannya; beliau berbicara padaku : “Hari Kamis tepat waktu maghrib aku akan mati. Aku akan dimakamkan hari Jum’at, sebelum Shalat Jum’at. Kamu janganlupa itu!” Ternyata wasiat itu kkulupakan, hingga hari Jum’at. Tiba-tiba ada orang yang memberi kabar atas kewafatannya. Aku bergegas keluar menghadiri jenazahnya. Kulihat serombongan manusia sedang pulang, sambil berkata : “Beliau dimakamkan setelah shalat.” Namun aku tidak bergeming dan aku pun haidr. Kutemani jenazah, ternyata telah dikeluarkan sebelum waktu shalat sebagaimana diucapkannya padaku dulu. Aku bertanya pada hadirin yang hadir saat wafatnya. Salah seorang di antara mereka berkata : “Beliau pingsan, lalu sadar kembali. Kemudian menoleh ke arah rumah dan berkata, : “Berhenti, semoga Allah memaafkanmu. Kamu adalah hamba yang diperintah, dan aku pun hanya diperintah. Yang diperintahkanpadamu, tidak membuat kesenjangan bagimu, sedangkan yang diperintahkan padaku, membuat senjang  diriku. Lantas beliau meminta air, untuk memperbarui wudhu, kemudian shalat. Setelah shalat, tubuhnya kejang dan matanya terpejam (wafat).” Maka, setelah beliau wafat, Abul Husain bermimpi bertemu dengan an-Nassaj : “Bagaimana keadaannya?” Tanya Abul Husain. “Jangan kamu lupakan, tetapi, sebenarnya kau telah membersihkan duniamu yang kotor.”Pengarang kitab Bahjatul Asrar,menuturkan, bahwa ketika Sahl bin Abdullah meninggal, manusia berduyun-duyun mendatangi jenazahnya. Di daerah itu ada sekelompok Yahudi, sekitar tujuh puluh orang. Salah seorang Yahudi itu mendengar kegaduhan, lalu keluaruntuk melihat apa yang terjadi. Ketika melihat jenazah, tiba-tiba ia berteriak : “Hai, apakah kalian semuamelihat seperti apa yang kulihat?” Mereka menjawab : “Tidak!” Apa yang Anda lihat?” Yahudi itu berkata :“Aku melihat serombongan kaum yang turun dari langit, mereka saling menyentuh dan mengusap jenazah itu.” Setelah kejadian itu, Yahudi tersebut membaca syahadat, memeluk Islam, dan menjadi Muslimyang taat.Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Aku sedang berada di Mekkah al-Mukarramah semoga Allah swt. menjaganya. Suatu hari aku melewatipintu Bani Syaibah. Kulihat seorang pemuda yang tampan dalam keadaan meninggal dunia. Kulihat wajahnya, dia tersenyum dalam wajahku, dan berkata padaku, : “hai Abu Sa’id, ketahuilah bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu hidup, walaupun mereka mati. Mereka hanya dipindahkan dari satu rumah ke rumah lain.”Ahmad al-Jurairy berkata : “Adaberita sampai padaku bahwa Dzun Nuun al-Mishry, ketika sedang naza’ diminta untuk berwasiat. Beliau malah menjawab : “Jangan ganggu aku. Aku ini sedang terpesona oleh keindahan-keindahan kelembutan-Nya.”Abu Utsman al- Hiry berkata : “Abu Hafs ditanya mengenai situasi wafatnya, ‘Apa yang bisa engkau nasihatkan pada kami, mengenai kematian?” Beliau menjawab : “Aku tak mampu untuk menjelaskan.” Kemudian tapak bahwa dirinya terasa kuat untuk menerangkan, dan aku pun bertanya padanya : “Katakanlah, sehingga aku bisa mengisahkan ini darimu.” Beliau menjawab : “Patah semangat telah meletihkan hati dari sikap ceroboh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar