40.ADAB
Allah swt. berfirman :“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (Qs. An-Najm :17).
Dikatakan bahwa ayat ini berarti : “Nabi melaksanakan adab di hadirat Allah.”Allah swt. berfirman :“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim :6).Mengomentari ayat ini, Ibnu Ababs mengatakan : “Didiklah dan ajarilah mereka adab.”Diriwaayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah bersaabda : “Hak seorang anak atas bapaknya adalah si Bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak.”Sa’id bin al-Musayyab berkata : “Barangsiapa yang tidak mengetahui hak-hak Allah swt. atas dirinya dan tidak pula metetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab.”Nabi saw. bersabda :“Sesungguhnya Allah telah mendidik dalam adab dan menjadikan sangat baik pendidikanku itu.” (H.r. Baihaqi).Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. Jadi orang yang beradab orang yang padadirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini munculah istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Seorang ghamba akan mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan mencapai Allah swt. dengan adab menaati-Nya.” Beliau juga mengatakan : “Aku melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti.”Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau sendiri.Syekh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menenpatkan sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal. Tetapi beliau lalu menjelaskan : “Aku tidak menginginkan sandaran>” Seteelah itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.”Al-Jalajily Bashry berkomenetar : “Tauhid menuntut keimaman. Jadi orang yang tidak punya iman tidak bertauhid. Iman menuntut syariat. Jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya iman dan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab. Jadi orang yang tak mempunyai adab tidak mematuhi syarita, tidak memiliki iman dan tahud.”Ibnu Atha’ berkata : “Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji.” Seseorang bertanya : “Apa artinya itu?” Dia meenjawab : “Maksudku engkau harus mempraktikan adab kepada Allah swt. baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkaumemiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab.”Kemudian dia membacakan Syair :Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnyaJika diam, duhai cantinyaBdullah al-Jurairy menuturkan : “Selma duapuluh tahun dlam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketikaduduk. Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah lebih utama.”Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang gyang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian.”Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin itanya : “Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah swt?” Diamenjawab : “Ma’rifat mengenai Ktuhanan-Nya, beramal karena patuhkepada-Nya, dan bersyukur kepada-ya atas kesejahteraan dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan.”Yahya bin Mu’adz berkata : “Jika seoran ‘Arif meninggalkan adabdi hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang binasa.Syeih Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk dipelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang gyang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang.”Diriwayatkan kepada Hasan al-Bashry : “Begitu banyak yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektiff untuk akhirat?” Dia menjawab : “Memahami agama, zuhud di dunia , dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt.”Sahl bin Abdullah mengatakan: “Para sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Alalh swt. dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adab terhadap-Nya.”Ibnul Mubarak berkta : “Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak pengetahuan.” Dia juga mengatakan : “Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang beradab meninggalkan kita.”Dikatakan : “Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing : 1). Menghindari orang yang berakhlak buruk; 2). Memperlihatkan adab; 3). Mencegah tindakan yang menyakitkan.”Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair berikut ini, tentag adab :Orang asing tak terasingBila dihiasi tiga pekertiMenjalan adab, diantaranya,Dan kedua berbudi baik.Dan ketiga menjauhi orang-orang berakhlak buruk.Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata kepadanya : “Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk berperilaku seperti raja-raja!>” Abu Hafs menjawab : “Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya.”Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya Taubatnya pemula.”Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Seseorang mengharapkan kepada seorang Sufi : “Alangkah jeleknya adabmu!.” Sang Sufi menjawab : “Aku tidak mempunyai adab buruk.” Orang itu bertanya : “Siapa yang mengajarmu adab?” Si Sufi menjawab : “Para Sufi.”Abu an Nashr as-Sarraj mengatakan : “Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab : “1) Manusia duniawi, yang cenderung mempriorotaskan adabnya dalam halkefasihan bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 2). Manusia religius yang mempriortaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang didtetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu; 3). Kaum terpilih (ahlul Khususiyah), yang berkepdulian pada pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, menjaankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya.”Diriwaytakan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan : “Orang yang gmenundukkan jiwanya dengan adabberarti telah menyembah Allah dengan tulus,”Dikatakan : “Kesempurnaan adab tidak bisa dicpaai kecuali oleh para Nabi – Semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka --- dan penegak kebenaran (shiddiqin).”Abdullah ibnul Mubarak menegaskan : “Orang berbeda pendapat mengenai apa yagn disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri.”Dulaf asy-Syibly berkata : “Ketidak mampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan adab.”Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Adab seorang ‘arif melampaui adab siapapun. Sebab Allah yang dima’rifati yang mendidik hatinya.”Salah seorang Sufi mengatakan : “Allah swt. berfirman : “Barangispaa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya.Dan siapa yang Ku-buka padanya jauh dari hakikatDzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya. Pilihlah, mana yang engkau sukai; adab atau kebinasaan.”Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata : “Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab.”Statemen ini didukung oleh Hadits yang menceritakan Nabi saw. sedang berada bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda. “Tidakkahaku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya.??”Dengan ucapannya itu, Nabi menunjukkan bahwa betatapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih beliau hargai. Mendekati makna kontseks ini mereka bersyair berikut :Dalam diriku penuh santun nan ramah,Maka, bila berhadapan dengan merekaYang memiliki kesetiaan dan kehormatan,Kubiarkan jiwaku mengalir wujudnya yang spontan.Aku berbicara apa adanyaTanpa malu-maluAl-Junayd menyatakan : “Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur.”Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Makala cinta telah menghujam sang pecinta, adab akanmenjadi keniscayaannya.”Ahmad an-Nury menegaskan : “Barangsiapa tidak menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.”Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Jika seorang pemula dalam Jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya.”Mengenai ayat :“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya,’ (Ya Tuhan), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang.” (Qs. Al-Anbiya :83).Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan : “Ayub tidakmengatakan : “Kasihanilah aku.” (Irhamny), semata karena beradab dalam berbicara pada Tuhan.”Begitu juga Isa as. Mengatakan:“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya merekaadalah hamba-hamba-Mu.” (Qs. Al-Maidah :118).“Seandainya aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.” (Qs. Al-Maidah :116).Komentar Syeikh ad-Daqqaq : “Nabi Isa mengucapkan “ Aku tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya.”Al-Junayd menuturkan : “Pada hari Jum’at di antara orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta : “Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku.” Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya : “Pergilah bersama syeikh ini dan berilah kebahagiaan keapdanya.” Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata : “Wahai Abu; Qasim, si fakir itu hanya makan sesuap saja dan pergi meninggalkan aku!” Aku menjawab : “Barangkali Anda mengatakan sesuatu yagn tak berkenan pada benaknya.” Dia menjawab : “Aku tidak mengatakan apa-apa.”Aku pun menoleh, tiba-tiba si fakir duduk di dekat kami dan aku bertanya ke padanya : “Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?” Dia menjawab : “Wahai Syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Andakarena kemiskinan saya, tetapi ketikaAnda memanggil saya, saya gembirakarena Anda mengeathui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya. Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan, dan berkata,Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluhribu dirham.” Katika saya mendengarucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya.” Aku menjawab : “Tidakkah kau telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahgia?” Dia berkata: “Wahai Abul Qasim, saya berTaubat!.” Maka aku pun menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.”
41.TATA ATURAN BEPERGIANAllah swt. berfirman :“Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan.” (Qs.Yunus :22).Riwayat dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca :“Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Qs. Az-Zukruf :13-4).Kemudian dialnjutkan dengan doa :“YA Allallh, sesungguhnya kamibermohon kepada-Mu, agar dalam bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan perbuatan yang Engkau ridhai, dan mudahkanlah kami dalam perjalanankami. Ya Allah, Engkau-lah yang menjadikan Pendamping dalam bepergian, sebagai Khalifah bagi keluarga dan harta. YA Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, dan dari kebinasaan yangcepat, dan dari keburukan pandang pada harta dan keluarga.” Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada istri-istrinya, dan ditambah dengan doa : “(kami) orang yang kembali, tergolong orang yang berTaubat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji (H.r. Muslim).Karena soal bepergian sering disebut oleh Kaum Sufi, maka kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi mereka. Tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi perbedaan. Ada di antara mereka yang memprioritaskan berdiam diri di rumah, daripada bepergian, kecuali dengan suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka lebih banyak diam di rumah, seperti al-Junayd, Sahl bin Abdullah, Abi Yazid al-Birhamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada yang lebih senang bepergian. Hal demikian dilakukan sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan yang lainnya.Rata-rata mereka bepergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergipada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail al-Hiry, Dulaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana tharikatnya mereka bangun.Perlu diketahui, bahwa bepergian itu ada dua macam : Pertama : pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu mendaki dari satu tangga sifat ke sifat lain. Banyakorang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ada seorang Syeikh dan kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. Ia memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika beberpa orang bertanya padanya : ‘Apakah engkau bepergian,wahai syeikh?” Syeikh itu menjawab :Bepergian di bumi atau bepergian ke langit?” Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau bepergian ke langit, memang benar.”Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah : “Suatu hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata padaku : “Aku telah menempah perjalanan jauh yang meletihkan, hanya untuk menemuimu.’ Aku menjawab : Sebenarnya Anda cukup selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu sendiri.”Kisah-kisah bepergian mereka bermacam-macam, baik dalam ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, : “Aku berada di tengah padang pasir dalamkeadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan, sembari berdoa : “Ya Tuhan, sungguhsuatu saat yang letih, padahal aku datang untuk menjadi tamu-Mu.” Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku: “Siapa yang mengundang kamu.” Aku berkata : “Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana Thufaily.” Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap : “Hai orang ajam, mau ke mana kamu!” Kukatakan : “Menuju ke Mekkah al Mukarramah, semoga Allah swt. menjaganya.” Si Badui itu berujar, : “Apakah Allah mengundangmu?” Akumenjawab : “Aku tidak tahu.” Selanjutnya orang itu berkata : “Bukanlah Allah swt. berfirman : ..... bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah?” (Qs. Ali Imran :97). Kukatakan padanya : “Kerajaan kan luas termasuk Thufaily.” Tiba-tiba ia menyahut : “Wahai Thufaily, ternyata adalah engkau. Apakah engkau berkenan untuk diantar unta?” Kujawab : “Ya!” Lelaki Badui itu turun dari kendaraannya dan memberikan unta itu padaku, dan berkata, : “Berjalanlah di atas unta.”Sebagian para fakir berkata kepada Muhammad al-Kattany : “Berilah aku wasiat.” Jawab al-Kattany : Tekunlah kamu, agar setiap malam menjadi tamu masjid, dan kamu tidak mati kecuali di antara dua tempat itu.”Ali-al-Hushry berkata : “Sekali duduk lebih baik dibanding seribu argumentasi. Yang dimaksud dengansekali duduk, adalah upaya cita-cita terkumpul menurut sifat penyaksian. Sepanjang umurku, sungguh yang demikian lebih baik daripada seribu argumentasi menurut sifat kegaiban.”Muhammad bin Ismail al-Farghany berkata : “Kami bepergian selama kira-kira duapuluh tahun, saya dan Abu Bakr az-Zaqqaq serta Muhammad al-Kattany. Selamaitu kami tak pernah bergaul atau bercampur dengan sesama orang. Bila kami datang ke suatu negeri, --- kalau di sana ada seorang syeikh – kami membei salam dan mengikuti majelisnya hingga malam hari, kemudian kami kembali ke masjid. Semetara Muhammad al-Kattay selalu shalat dari awal hingga akhir malam, mengkhatamkan Al-Qur’an. Sedangkan Az-Zaqqaq duduk menghadap kiblat. Aku sendiri bertafakur, hingga dini hari. Kami bersama shalat fajar, dengan lebih dahulu wudhu pada sepertiga malamterakhir. Bila ada orang yang masih tidur, kami melihatnya.”Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai etika bepergian, katanya : “Hendaknya cita-citanya tidak melampaui langkahnya. Bila di mana saja hatinya ingin berhenti, di sanalahtempat tinggalnya.”Diriwayatkan dari Malik bin Dinar yang berkata : “Allah swt. memberi wahyu kepada Musa as : “Ambillah dua sandal dari besi, dan tongkat dari besi. Kemudian hentakkan di muka bumi, dan raihlah kebajikan dan pelajaran, sampai kedua sandal menjadi robek dan tongkat terbelah.”Dikatakan : “Muhammad bin Ismail al-Maghriby senantiasa melancong disertai para murid-muridnya. Ketika sedang ikhram, dansudah tahalul dari ihramnya, ia ihram untuk berikutnya. Sementara bajunyatak pernah kotor, kukunya tak pernah panjang, begitu pula rambutnya. Sedangkan murid-muridnya berjalan di malam hari, dibelakangnya. Apabila salah seorang di antara mereka ada yang menyimpang dari jalan yang dilalui, ia selalu menegur : “Hai Fulan, sebelah kananmu, hai si Fulan! Sebelah kirimu. Ia pun tidak pernah menjulurkan tangannya pada hal-hal yang bisa diraih oleh manusia. Makanannya hanya kar tumbuh-tumbuhan yang diambil kemudian dipotong untuk dimakan. Bahkan dikisahkan, bila ada teman yang berkta padanya : “Berdirilah.” Ia selalu menjawab : “Kemana?” Maka ia tak punya teman.”Seorang penyair berdendang :Bila mereka minta bantuanTidaklah meminta orang yang memanggil merekaDi mana pun suatu peperanganAtaukah di temepat manapun juga.Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Ribathy, berkata : “Aku menemani Abdullah al-Maruzy, dan ia sedang memasuki padang pasir tanpa bekal maupun kendaraan, sebelum aku menemaninya. Ketika aku telah menemani, ia berkata kepadaku :“Mana yang lebih Anda cintai, Anda pimpinannya atau aku.”“Tidak, aku lebih senang Anda saja.” Kataku.“Kalau begitu Anda harus patuh.”“Ya” jawabku.Kemudian ia mengambil keranjang untuk ditempati bekal, lalu keranjang itu ia panggul di atas punggungnya. Bila aku minta beban itu dengan kataku : “Mana, berikan keranjang itu, aku bawakan.” Pintaku.Ia lantas menjawab : “Akulah pemimpin, dan Anda harus patuh.”Tiba-tiba suatu malam turun hujan hingga pagi. Hujan itu membasahi kepalaku, sementara kain penutup miliknya ia bentangkan untuk menghalangi air hujan padaku. Aku berkata dalam hatiku : “ah, celaka bila aku mati, padahal belum kukatakan padanya : “Engkaulah pemimpin!.” Lalu ia berkata padaku : “Bila Anda bersahabt dengan orang lain, maka temanilah ia seperti Anda melihat bagaimana aku menemanimu.”Seorang pemuda datang pada Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary. Ketika ia hendak keluar, ia berkata : “Syeikh mengatakan sesuatu. “Hai anak muda, mereka tidak berkumpul karena janji, tidak pula berpisah melalui musyawarah.”Abu Abdullah an-Bashibainy berkisah : “Aku mengembra selama tiga puluh tahun, tak pernah sekalipun aku menambal pakaianku yang sobek. Aku juga tak pernah mampir ke suatu tempat yang kuketahui, bahwa di tempat itu ada seorang teman. Aku tak pernah membiarkan seseorang yang membawa beban, bila ia bersamaku.”Ketahuilah, para sufi saling menepati adab penghadiran jiwa melalui mujahadah. Kemudian mereka ingin menyandarkan sesuatu pada mujahadah itu. Lalu mereka menyandarkan aturan-aturan bepergian atau pengembaraan pada cara seperti itu, sebagai olah jiwa untuk keluar dari segala hal yang dimaklumi, dan membawanya untuk berpisah dengan segala pengetahuan, agar senantiasa hidup bersama Allah swt. tanpa ketergantungan dan perantara. Dan mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya sekalipun dalam masa pengembaraannya. Mereka berkata : “Kemurahan diberikan pada orang yang bepergian karena darurat. Sedangkan kita, tidak punya kesibukan sama sekali, dan tentunya tidak ada darurat dalam bepergian kita.”An-Nashr Abadzy berkata : “Sekali waktu, aku pernah merasa taktahan di padang pasir, sampai aku merasa putus asa. Tiba-tiba mataku melihat rembulan di siang hari itu. Di sana tertulis ayat :“Maka, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka.” (Qs. Al-Baqarah :137).Sejak saat itu, aku menjadi bebas dan terbuka.”Abu Ya’kub as-Susy berkata : “Sorang musafir butuh empat hal dalam bepergiannya : ilmu sebagai pertimbangannya; Wara’sebagai pagarnya; kerinduan yang membebaninya; dan akhlak yang menjaganya.”Dikatakan : “Bepergian menggunakan kata sifr (tulisan), karena merupakan catatan dari akhlak para tokoh.”Disebutkan : Ibrahim al-Khawwas tidak pernah membawa beban dalam bepergiannya. Hanya saja ia tidak pernah berpisah dengan jatum dan tempat air. Jarum untuk menjahit pakaiannya yan robek, agar auratnya tertutup, sdangkan tempat air digunakan untuk wudhu. Untuk itu pun ia tak pernah bergantung dan memberitahu oarng lain.”Riwaya dari Abu Abdullah Razy yang berkta : “Aku keluar dari Tharsus memakai sandal, bersama seorang teman. Kami memasuki salah satu perkampungan Syam. Tiba-tiba seorang fakir datang kepadaku dengan membawa sepatu,dan aku menolak untuk menerimanya. Temanku bertanya : “Bukankah ini bisa dipakai, dan Anda kelihatan lelah, padahal toh, Anda telah membuka (mencopo) sandal itu karena aku.” Aku katakan padanya: “Kenapa Anda ini?”Teman tadi bicara : “Aku juga mencopot sandalku agar sama dengan Anda, dan menjaga hak persahabatan.”Dikatakan : “Ibrahim al-Khawwas bepergian bersama tiga kelompok, dimana akhirnya mereka ssampai di sebuah massjid pada suatu lembah. Mereka pun menginapdi sana. Masjid itu tak berpintu, sementara udara dingin mencekan mereka. Ketika dini hari bangun, mereka melihat Ibrahim berdiri di sebuah pintu. Mereka bertanya : “mengapa Ibrahim ada di sana? Beliau menjawab : “Aku khawatir jika kalian tercekam kedinginan (sehingga aku berdiri untuk menghalangi udara).” Sungguh, Ibrahim telah berdiri semalam suntukdi pintu itu.”Dikishakan : “Muhammad al-Kattany minta izin ibunya untuk pergi haji. Ibunya pun memberi izi. Ditengah padang pasir bajunya terkenaair kencing. Lalu ia mengatakan : “Sungguh, ini suatu cela bagi keadaan batinku.” Kemudian ia kembali pulang. Ketika mengetuk pintu rumahnya, ibunya menjawab. Setelah pintu dibuka, ia melihat ibunya duduk di belakang pintu. Ia bertanya mengapa sang ibu duduk disana. Ibunya menjawab : “Sejak engkau keluar, aku bertekad untuk tidak beranjak dari tempat ini, sampai aku melihatmu lagi.”Ibrahim al-Qashshar berkata : “Saya pergi selama tiga puluh tahun, dalam rangka mendekatkan agar manusia peduli dengan para fakir.”Seorang laki-laki ziarah ke tempat Dawud ath-Tha’y. Orang itu berkata padanya : “Wahai Abu sulaiman, pada diriku ada rasa yang bertentangan untuk menemuimu sejak beberapa waktu terakhir ini.” Daud menjawab : “Tidak apa-apa. Bila tubuh tak bergerak, hati tentram, maka pertemuan lebih gampang.”Saya mendengar Abu Nashr ash-Shufy r.a. berkata : “Aku keluar dari Selat Oman, ketika itu perutku terasa lapar. Aku berjalan di pasar, sesampai di kedai makanan, di sana ada beberapa makanan dan manisan. Lalu aku bermaksud minta tolong pada seseorang. Kukatakan padanya : “Bisakah Anda membelikan barang ini untukku?” Lelaki itu menjawab : “Mengapa?” Apakah aku punya tanggungan padamu?” Atau aku punya semacam uang?” Aku menjawab : “Anda harus membelinya untukku.” Tiba-tiba ada seseorang yang melihatku, sembari berkata : “Hai anak muda, tinggalkan dia. Orang yang wajib membelikan apa yang kau mau adalah aku, bukan dia. Silahkan ambil sekehendakmu.” Ia membelikan sesuai apa yang ku maui, dan orang itu pergi begitu saja setelah itu.Abul Husain al-Mishry berkata : “Aku sepakat dengan asy-Syajary dalam suatu acara bepergian dari Tharablus. Kami berjalan selama beberpa hari, tidak makan sedikitpun. Sejenak aku melihat kambing jantan sudah dimasak. Aku mengambil dan memakannya. Tiba-tiba Syeikh asy-Syajary berpaling kepadaku, sama sekali tidak berucap apa-apa. Lalu kubuangsaja makanan itu, karena aku melihatSyeikh tidak suka. Kemudian ia membuka uang lima dinar buat kami.Kami memasuki suatu desa. Aku berkata dalam hati : “Aku akan dibelikan sesuatu, tidak mustahil!.” Namun syeikh tetap berlalu dan tidakberbuat apa-apa, sembari berkata : “Mungkin Anda akan berrkat, ‘Kita ini berjalan dalam keadaan lapar, dan Anda tidak membelikan apa-apa buta kita, begitu?” Kemudian di tengah jalan kami menjumpai orang Yahudi. Dan di sana pula ada seseorang yang memiliki keluarga. Ketika kami masuk ke rumahnya, tampak sekali mereka repot atas kedatangan kami. Kemudian uang itudiberikan pada lelaki tadi, agar membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika kami sudah keluar, syeikh itu berkata kepadaku : “Kemana wahai Abul Husein?” Aku menjawab : “Aku berjalan bersamamu.” Beliau menjawab balik: “Tidak, Anda sebenarnya mengkhianatiku ketika melihat kambing jantan (yang masak), dan Anda masih menemaniku. Jangan begitu.” Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”Saya mendengar dari Muhammad Abdullah asy-Syirazy yang berkata, bahwa ia mendengar langsung dari Abu Ahmad ash-Shaghir, yang mendengar dari Abu Abdullah bin Khafif yang berkata: “Pada saat awal perjalanan ruhaniku, sebagian para fakir menghadap kepadaku. Ia melihat bekas kesedihan dan kelaparan padamulutku. Kemudian aku dimasukkan ke dalam rumahnya, dihidangi daging yang dimasak dengan kisyik. Sementara daging itu mulai basi. Akumemakan roti remuk yang direndam, dan menjauhi daging karena basinya.Lantas kau mengambil sesuap, dan memakan dengan hati yang berat. Begitu juga ketika suapan kedua, terasa semakin berat hatiku. Si fakir itu melihat keresahanku, dan wajhnyatampak berubah. Romanku juga ikut berubah melihat perubahan roman si fakir itu. Aku lalu keluar meneruskan perjalanan. Aku mengirim seseorng kepada ibuku agar membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak menolak, dan rela atas kepergianku. Aku pun berangkat ke Qadisiah bersama kelompok orang-orang fakir. Kami memakan apa adanya yang ada pada kami, dan kami terancam penderitaan. Akhirnya kamisampai ditengah kehidupan orang-orang Arab, toh, kami tak mendapatkan apa-apa. Kami pun merasa menderita, hingga kami inginmembeli anjing dari mereka dengan beberapa dinar dan memasaknya. Mereka memberi sedikit dagingnya. Namun ketika aku akan memakannya, aku berpikir sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba perasaanku mengatakan bahwa tindakanku membuatnya tersiksas yang memalukan pada si fakir itu. Aku berTaubat dalam hatiku. Dan si fakir terdiam, lantas memberi petunjuk jalan padaku. Aku pun berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji. Ketika pulang, aku mohon maaf pada si fakir tadi.”
42.PERSAHABATANAllah swt. berfirman :“.......sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata pada sahabatnya : “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (Qs. At-Taubah :40).Abul Qasim al-Junayd r.a. berkata : “Ketika Allah swt. menetapkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai sahabt, Allah menjelaskan, bahwa Nabi saw. menampakkan sifat kepedulian yang besar kepadanya. Dalam firman-Nya: “Di waktu dia berkata pada sahabatnya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah berserta kita.” Orang yang merdeka adalah senantiasa peduli atas orang yang menjadi sahabatnya.Riwayat dari Anas bin Malik r.a.Rasulullah saw. bersabda : “Kapankah aku bertemu kekasih-kekasihku?” Para sahabt menjawab : “Demi ayah, engkau dan ibu kami, apakah kami-kami ini bukan kekasihmu?” Rasul saw. besabda : “Engkau adalah sahabt-sahabtku. Sedangkan kekasih-kekasihku adalahkaum yang belum pernah jumpa denganku, (tetapi) beriman kepadaku. Aku lebih banyak rindu kepada mereka.” (H.r. Abu Syeikh, dalam Bab ats-Tsawab).Persahabatan itu ada tiga macam : 1) Bersahabt dengan orang yang lebih atas dari Anda. Persahabatan ini pada hakikatnya lebih sebagai rasa bakti; 2). Bersahabat dengan orang yang ada di bawah Anda. Persahabatan ini menuntut agar Anda bersikap peduli dan kasih sayang. Sementara yang mengikuti Anda harus selalu serasi dan bersikap hormat. 3). Bersahabt dengan mereka yang memiliki kemampuan dan pandangan ruhani. Yaitu suatu persahabatan yang menuntut sikap memprioriatskan sepenuhnya kepada sahabtnya itu.Siapa yang bersahabat pada syeikh yang memiliki derajat lebih daripada dirinya, etikanya ia harus meninggalkan sikap kontra, bersikap ramah dan respektif kepadanya, dan mempertemukan diri dengan ihwal ruhaninya melalui iman.Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby berkata ketika ditanya oleh sebagian murid-murid kami : “Berapa tahun Anda bersahabtkepada Sa’id bin Salam al-Maghriby?” Beliau melirik dengan tajam kepada penanya, sembari berkata : “Aku tak pernah bersahabat dengannya, tetapi aku berkhidmat padanya beberapa saat.”Apabila orang yang menyahabati Anda adalah orang yang berada di bawah Anda, maka, suatu penghianatan dalam persahabatannya, adalah ketika Andatidak memperingatkannya atas kekurangan perilakunya.Abul Khair at-Tinaty menulis surat kepada Ja’far bin Muhammad bin Nashr : “Dosa kebodohan para fakir ditimpakan kepada Anda, karena Anda sibuk dengan diri Anda sendiri, meninggalkan upaya mendidik mereka, sehingga mereka tetap bodoh. Namun, apabila orang yang bersahabt dengan Anda memiliki status yang sama, Anda harus menjaga cacatnya. Dan lebih bersikap bijak dan baik semaksimal mungkin, dengan menafsirkan yang lebih berkenan atas tindakannya. Bilatidak ada penafsiran positif, lebih baik Anda menyangka diri Anda telahberbohong dan berhak mendapat celaan.”Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ahmad bin Abul Hawary berkata : “Aku bicara pada Abu Sulaiman ad-Darany: “Ada seseorang yang tidak berkenan di hatiku!.” Lantas Abu Sulaiman menjawab : “Sama, ia juga tak berkenan di hatiku. Tetapi, wahai Ahmad, barangkali generasi sebelumkita dulu menganggap kita bukan tergolong orang-orang yang saleh, lalu apakah kita tidak mencintai mereka?”Dikisahkan bahwa ada seseorang yang bersahabat pada Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah, berkata pada Ibrahim : “Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku.” Ibrahim menjawab : “Aku tak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata kecintaan, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan kebaikan. Tanyakan saja pada selain diriku tentang cacatmu.”Dalam hal ini para Sufi bersyair:Mata pandang ridha akan suramDari segala celaNamun mata pandang dendamTampak buruk segalanya.Abu Ahmad al-Qaalnasy berkata : “Aku berteman dengan beberapa kaum di Bashrah, dan mereka menghormati aku. Sekali waktu kukatakan pada mereka : “Manakah sarungku?” Tiba-tiba sarung itu jatuh dari mata mereka.”Seseorang berkata pada Sahl bin Abdullah : “Aku ingin berteeman denganmu wahai Abu Muhammad.” Beliau menjawab : “Bila di antara kitaada yang mati, maka kepada siapa salah satu di antara kita bersahabat?” Orang itu berkata : “Allah swt.” Sahl balik menjawab : “Maka, sejak saat ini, bersahabtlah dengan-Nya.”Ibrahim bin Adham bekerja sebagai pengetam dan penjaga beberapa kebun, serta pekerjaan lainnya. Hasilnya diinfakkan pada para sahabatnya (santrinya). Dikatakan : “Ibrahim bersama suatu jamaah dari para sahabatnya (santrinya), sedangkan dirinya bekerja di siang hari untuk diberikan kepada mereka. Mereka berkumpul di malam hari di suatu tempat, dan pada siang hari mereka berpuasa. Suatu ketika Ibrahim pulang terlambat dari kerja. Dan pada suatu malam mereka berkata : “Kemarilah, kita berbuka apa adanya.” Ibrahim pulang lebih cepat setelah peristiwa itu. Mereka akhir berbuka dan tidur nyenyak. Ketika Ibrahim pulang, didapati para sahabtnya itu tertidur pulas. “Kasihan!” barangkali mereka tidak menemukan makanan.” Kata Ibrahim. Lalu, Ibrahim membuat jenang dari tepung yang ada, dan menyalakan api serta bara. Ketika mereka melihat Ibrahim sedang meniup-niup api sambil menempelkan sisi wajahnya pada tanah, para sahabtnya mengingatkanakan kejadian tersebut. Beliau menjawab : “Aku katakan, barangkali kali kalian semua tidak mendapatkanmakanan untuk berbuka, sehingga kalian tertidur semua. Aku ingin membangunkan kalian nanti setelah bara menyala.” Maka masing-masingsahabatnya itu saling berkata : “Lihatlah, apa yang telah kita lakukan,dan lihatlah apa yang dilakukan untuk kita........????”Dikatakan bahwa, jika seseorang ingin bersahabt dengan Ibrahim bin Adham, ia mensyratkan bahwa orang itu harus berbakti dan memberitahu padanya; tangannya haurs sama dengan tangan mereka dalam hal seluruh rezeki yang telah dibuka oleh Allah bagi mereka di dunia.Suatu hari, salah seorang santrinya berkata pada Ibrahim bin Adham : “Aku tidak mampu melakukan ini.” Ibrahim menjawab sambil terkejut : “Sungguh aku kagum atas kejujuranmu.”Yusuf ibnur Husain berkata : “Aku berkata pada Dzun Nuun al-Mishry : “Kepada siapa aku harus bersahabat?” Dzun Nuun menjawab : “Dengan orang yang sama sekali tidak kau sembunyikan tentang dirimu, dimana Allah swt. mengetahui dirimu.”Sahl bin Abdullah berkata padaseseorang : “Bila Anda termasuk orang yang takut binatang buas, jangan berteman denganku.”Bisyr al-Harits berkata : “Berteman dengan kejahatan akan melahirkan sangkaan buruk dengan bebas.”Al-Junayd berkata : “Ketika AbuHafs masuk ke Baghdad, ia disertai seorang yang botak bagian kepala depannya, sama sekali bungkam tak bicara. Kemudian aku bertanya pada para sahabat Abu Hafs mengenai keadaan orang tersebut. Mereka menjawab : “Lelaki itu telah menafkahkan seratus ribu dirham untuk diinfakkan kepada Abu Hafs. Abu Hafs tidak memperkenankannyabicara sekecap pun.”Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Janganlah bersahabat dengan Allah swt. kecuali senantiasa dalam keselarasan; jangan pula dengan makhluk kecuali dengan saling menasehati; jangan pula dengan nafsu kecuali dengan menentangnya;jangan bersahabat pula dengan setan kecuali dengan memusuhi.” Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun : “Siapakah yang bisa kujadikansahabat?” Beliau menjawab : “Seseorang yang bila engkau sakit, iamenjengukmu, bila engkau berbuat dosa, ia menganjurkan Taubat padamu.”Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Pohon bila tumbuh dengan sendirinya, namun tidak diolah oleh manusia, ia akan tumbuh dengan daunnya, tetapi tidakbisa bebuah. Begitu juga seorang murid bila berkembang tanpa guru iaakan muncul, namun tidak berbuah.” Beliau juga berkata : “Aku mendapatkan tharikat ini dari an-Nashr Abadzy , dan Nashr Abadzydari asy-Syibly, sedangkan asy-Syiblydari al-Junayd, dan al-Junayd dari as-Sary, as-Sary dari Ma’ruf al-Karkhy, Ma’ruf al-Kharkhy dari Dawud ath-Tha’y, dan dawud ath-Tha’y dari para Tai’in.” Saya mendengar pula bahwa beliau semoga rahmat Allah swt. padanya --- berkata : “Takpernah sekalipun aku mengikuti majelisnya Nashr Abadzy, kecuali aku selalu mandi sebelumnya.”Saya sendiri, tak pernah masukke tempat guru saya Syeikh Abu Ali pada awal belajar saya di sana, kecuali saya selalu berpuasa dan sebelumnya saya mandi dahulu. Padahal saya memasuki pintu madrasahnya tidak sekali. Saya selalu kembali ke pintu itu, saya khawatir beliau marah jika memasukipintu itu. Dan seketika saya melintas,lalu memasukinya. Bila sampai di tengah ruang madrasah, beliau mendekati diri saya, dan saya benar-benar terdiam senyap, Seandainya ada jarum yang menusuk pada mulutsaya pun, tak akan saya rasakan. Jikasaya duduk, dan ada suatu masalah yang mengganggu diri saya, saya tidak ingin bertanya pada beliau, melalui ucapan saya. Dan setiap kali saya berada di majelis, beliau selalui melalui menjelaskan persoalan saya.Tidak sekali hal-hal seperti itu saya saksikan dengan mata kepala. Seringkali saya berpikir, seandainya Alalh swt. mengutus seorang Rasul pada zaman saya, mungkinkah saya menambah rasa hormat padanya dalam hati saya, lebih dari rasa hormat saya pada guru saya --- semoga Allah swt. merahmatinya. Dan sama sekali tidak tergambarkan kemungkinan seperti itu. Saya tidak ingat lagi, sepanjang saya mengikuti majelisnya, kemudian kenyataan diri saya setelah mendapatkan kesinambungan jiwa, tak pernah sekalipun terbersit untuk kontra padanya, sampai beliau wafat.”Dikatakan Muhammad an-Nashr al-Harits, “Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Musa as, “Jadilah kamu orang yang bangun dan kembali, serta menjadi sahabat bagi dirimu. Setiap sahabat yang tidak menggembirakan hatimu, makajauhilah ia, dan janganlah bersahabatdengannya, karena ia akan mengeraskan hatimu. Bagimu ia menjadi musuh. Banyak-banyaklah mengingat-Ku karena akan mendatangkan rasa syukur kepada-Ku, dan mendapatkan tambahan darianugerah-Ku.”Abu Yazid al-Bisthamy berkata: “Bersahabtlah kalian dengan Allah swt. Bila kalian tidak mampu, maka bersahabatlah dengan orang yang bersahabt dengan Allah swt. karena bersahabt dengannya bisa menghubungkan kalian kepada Allah swt. melalui berkat persahabatannya dengan Allah swt.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar