BAB IV.KONDISI RUHANI DAN KAROMAH
DAFTAR ISI
1.KAROMAH PARA WALI (A)
KAROMAH PARA WALI (B)
2.URGENSI WALI DANKEWALIAN
3.MIMPI
4.WASIAT BAGI PARAMURID
1.KARoMAH PARA WALI(A)Munculnya karamah bagi para Wali adalah sesuatu yang berkenan. Dalil atas perkenannya : “Bahwa munculnya karamah tersebut merupakan perkara yang kejadiannyairrasional.
Munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar prinsipalagama. Maka salah satu Sifat Wajib Allah swt. adalah Al-Qudrat (Kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apabila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka tak satu pun bisa menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut.”Munculnya karamah merupakan tanda dari kebenaran orang yang muncul dalam kondisi ruhaninya. Siapa yang tidak benar, maka kemunculan seperti karamah tersebut tidak diperkenankan. Hal yang menunjukkannya, bahwa definisi sifat Al-Qadim bagi Allah swt. sudah jelas. Sehingga kita bisa membedakan antara orang yang benar dalam kondisi ruhaninya dan orang yang batil dalam menempuh bukti, dalam masalah yang spekluatif. Pembedaan itu tidak bisa dilakukan kecuali melalui keistimewaan Wali. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang mendakwakan diri secara gegabah. Perkara tersebut tidak lain adalah karamah itu sendiri, sebgaimana kami isyaratkan.Karamah tersebut mengharuskan adanya perbuatan yang kontra adat kebiasaan, pada masa-masa taklif, yang muncul dengan sifat-sifat kewalian dalam pengertian sebenarnya pada kondisi ruhaninya.Berbagai kalangan ahli hakikat membincangkan aanya perbedaan antara karamah dengan mu’jizat. Imam Abu Ishaq al-Isfirayainu --- rahimahullah ta’ala – berkata : “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran para Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa ditemukan pada selain Nabi. Sebagaimana aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yag menunjukkan jatinya sebagai ilmuwan, tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang memliki ilmu pengetahuan.” Dia juga menegaskan : “Para Wali memiliki karamah, yang serupa dengan terijabahnya doa. Bahwa karamah itudikategorikan jenis mu’jizat bagi paraNabi, itu tidak benar.”Imam Abu Bakr bin Furak – rahimahullah – berkata : “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran (para Nabi). Dan yang mendapatkan mu’jizat mengumandangkan nubuwwatnya. Mu’jizat menunjukkan kebenaran dalam ucapannya. Apabila pemiliknya menunjukkan pada kewalian, mu’jizat tersebut menunjukkan kebenarannya dalam kondisi ruhani si pemilik. Maka yang terakhir isi disebut karamah. Tidak disebut mukjizat, walau pun karamahtersebut sejenis dengan mu’jizat. Namun ada perbedaan.Di antara perbedaan-perbedan mu’jizat dan karamah, bahwa mu’jizat itu diperintahkan untuk disebarluaskan. Sementara pada Wali, harus menyembunyikan dan menutupi karamah. Nabi --- shalat dan salam Allah semoga melimpah padanya – mendakwahkannya dengan memastikan kebenaran uacapannya. Sedangkan Wali tidak mendakwahkannya, juga tidak memastikan melalui karamahnya. Sebab bisa jadi hal itu merupakan cobaan.Salah seorang tokoh di zamannya, Qadhi Abu Bakr al-Asy’ary,berkata : “Mu’jizat itutentu bagi para Nabi, dan karamah khusus bagi para Wali, sebagaimana mu’jizat khusus bagi para Nabi. Bagi para wali tidak ada mu’jizat. Sebab salah satu syaratdari mu’jizat adalah disertai dengan dakwah kenabian yang didasarkan mu’jizat tersebut. Mu’jizat sendiri tidak dikatakan sebagai mu’jizat dilihat dari kenyataannya. Tetapi, menjadi mu’jizat karena adanya sifat-sifat yang mendukungnya.Apabila salah satu syarat saja cacat, tidak dikategorikan mu’jizat. Salah satu syarat mu’jizat adalah dakwah kenabian. Sedangkan Wali tidak mendakwahkan kenabian. Dan yang muncul dari Wali tidak disebut sebagai mu’jizat. Ungkapan inilah yang kami pegang, kami yakini dan kami patuhi. Syarat-syarat mu’jizat secara keseluruhan atau lebih, ada dalam sayarat-syarat karamah, kecuali satu syarat di atas. Sedangkan karamah adalah suatu kejadian, yang tidak mustahil adalah baru.Sebab sesuatu yang bersifat qadim, tidak dikhususkan pada seseorang. Sifat karamah adalah kontra terhadap adat kebiasaan. Muncul pada masa taklif, dan pada seorang hamba sebagai keistimewaan dan keuatamaan. Kadang-kadang gkaramah diperoleh melalui ikhtiar dan doanya, kadang-kadang usaha dan doa tersebut tidakbisa mendapatkan karamah. Kadang pula muncul di luat ikhtiarnya pada waktu-waktu tertentu. Seorang Wali tidak diperintahkan meminta doa orang lain bagi dirinya. Kalau toh punmuncul semacam itu, dan memang memiliki kapasitas yang sesuai, maka doa itu diperbolehkan.”Ahli hakikat berbeda padang mengenai Wali : apakah dia boleh mengetahui atau tidak, bahwa dirinyaitu seorang wali?Imam Abu Bakr bin Furak r.a. berkata : “Tidak boleh seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, sebab dengan begitu, ia harus menghilangkan rasa takut dan harus pula merasa aman.”Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berpendapat atas kebolehannya. Pandanganninilah yang kami pilih dan kami prioritaskan. Tetapi hal itu tidak menjadi keharusan bagi semua Wali, sehingga setiap wali harus mengetahui bahwa dirinya itu Wali.Namun masing-masing di antara mereka boleh mengenalnya sebagai wali, sebagaimana masing-masing diperbolehkan untuk tidak mengenal mereka. Apabila sebagaian di antara mereka ada yang mengetahui bahwa salah seorang di antara ada yang Wali, maka pengetahuannya itu tergolong sebagai karamah yang dimiliinya. Namun tidak semua karamah bagi wali itu dengan kenyataannya harus merata bagi semua Wali.Bahkan kalau toh seorang Wali tidak mempunyai karamah yang muncul di dunia, ia tidak tercela sebagai Wali. Berbeda dengan para Nabi, mereka wajib mempunyai mu’jizat. Sebab Nabi diutus untuk dakwah kepada makhluk. Manusia membutuhkan atas kebenarannya, dan tentu tidak bisa diketahui kecualimelalui mu’jizat. Sementara Wali tidak diwajibkan berdakwah melalui karamahnya kepada makhluk.Begitu pula tidak harus setiap Wali itu mengetahui bahwa dirinya adalah Wali. Sepuluh orang sahabat, membenarkan sabda Rasulullah saw.sebagaimana disebutkan dalam hadits, sebagai ahli surga.Sedangkan pendapat mereka yang tidak memperkenankan seseorang mengetahui bahwa dirinyaWali, dikhawatirkan ia harus keluar dari rasa takut. Sebenarnya tidak berbahaya bila mereka takut adanya perubahan akibat-akibat. Dan apa yang mereka temui dalam hati mereka, dari rasa takut dengan penuh hormat, ta’dzim dan pengagungan kepada Allah swt. justru menambah dan meningkatkan banyak rasa takutnya.Ketahuilah, seorang Wali tidak ada yang bertumpu pada karamah yang muncul pada dirinya. Bagi mereka juga tidak harus berupaya mendapatkan karamah. Kadang-kadang yang muncul adalah nuansa sejenis karamah, seperti : Keyakinan yang kuat dan mata hati yang bertambah, semata karena pembenaran mereka bahwa semua itu adalah kreasi Allah swt. Sehingga mereka lebih bertumpu pada keshahihan akidah mereka.Secara keseluruhan, bahwa kewenangan munculnya karamah bagi para Wali merupakan hal yang tidak bisa diragukan. Para jumhur ahli ma’rifat juga berpandangan demikian, disamping banyaknya hadits dan hikayat yang menjelaskannya, sehingga pengetahuan atas kebolehan munculnya karamah tersebut sebagai pengetahuan yang kuat yangtidak bisa diragukan. Hal-hal yang muncul dari kaum Sufi dan hikayat dikenal banyak orang, apalagi kisah-kisah mereka, sama sekali tidak meninggalkan keraguan secara global.Dalil-dalil atas semua itu ditegaskan oleh Al-Qur’an, dalam suatu kisah sahabat Nabi Sulaiman as. (Ashif) ketika mengatakan : “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (Qs. An-naml :40). Padahal sahabat Sulaiman as. Ini bukan termasuk seorang Nabi,Sedang sebuah atsar datang dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. ketika sedang berkhutbah Jum’at, tiba-tiba berkata “ Wahai Sariyah! Tetap saja engkau di bukit itu!.” Umar meneriakan suaranya itu dan didengar pula oleh Sariyah pada saat itu. Sehingga tentara Islam menjaga diri dari tipudaya musuh dari arah bukit pada saat itu pula.Bila ditanyakan : “Bagaimana diperbolehkan menampakkan karamah-karamah tambahan ini dari segi makna-maknanya, di atas mu’jizat-mu’jizat para Rasul? Bolehkah mengutamakan para Wali ketimbang para Nabi – semoga Allahswt. melimpahkan salam-Nya?”Jawabnya : “Karamah-karamahtersebut bertemu dengan mu’jizat Nabi Kita Muhammad saw. Sebab setiap orang yang tidak benar Islamnya, karamahnya tidak akan muncul. Setiap Nabi yang salah satu di antara ummatnya muncul karamahnya, maka karamah itu tergolong mu’jizat Nabi tersebut. Sebab kalau tidak karena kebenaran Rasul tersebut, karamah tidak akan muncul dari pengikutnya. Sedangkanderajat para Wali tidak mencapai derajat para Nabi – Alaihis salam – karena adanya ijma’ atas perkara tersebut.Abu Yazid al-Bisthamy ditanya mengenai masalah ini, jawabnya : “Perumpamaan yang diperoleh para Nabi – semoga Allah swt. melimpahkan salam keapda mereka – ibarat tempat air (geriba) yang di dalamnya ada madunya. Madu tersebut menetes satu tetesan. Satu tetes itu, sepadan dengan apa yang ada pada seluruh para Wali. Sedangkan geribanya adalah ibarat Nabi Kita Muhammad saw.
1.KARoMAH PARA WALI(B)KARoMAH DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAHKetahuilah bahwa karamah-karamah paling agung bagi para Waliadalah, kelanggengan taufiq untuk selalu taat kepada Allah saw. terjaga dari maksiat dan segala hal yang menyimpang. Sahl bin Abdullah meriwayatkan : “Siapa yang zuhud di dunia selama empatpuluh hari, dengan niat yang benar dari hatinya dan ikhlas, maka dia akan ditampakkan karamahnya. Namun jika tidak muncul karamahnya, semata karena zuhudnya tidak benar.” Maka Sahl ditanya : “Bagaimana karamah tersebut muncul bagi orang tersebut?” Sahl menjawab : “Dia mengambil sekehendaknya, sebagaimana dia berkehendak dan kapan saja ia berkehendak.”A.Karamah Yang Disebut Dalam Al-Qur’an1.Al-Qur’an banyak menyebutkan contoh soal karamah yang muncul dari para Wali. Kami sebutkan, diantaranya firman Allah swt. tentangMaryam as, dan beliau bukan termasuk Nabi ataupun Rasul :“Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata :“Hai Maryam, darimana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab : “Makana itu darisisi Allah, Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Qs. Ali Imran :37).Firman-Nya pula :“Dan goyanglah pangkal pohonitu ke arahmu, niscaya pohon itu akan mengugurkan buah kurma yangmasak kepadamu.” (Qs. Maryam:25).2.Kisah Ashhabul Kahfi dan sejumlah keajaiban yang muncul, seperti anjing yang berbicara denganmereka.3.Kisah Dzulqarnain, dan kompetensiyang diberikan oleh Allah swt. yang tidak diberikan kepada orang lain.4.Hal-hal yang muncul dari tangan Khidir as, yakni perkara-perkara yang berbeda dengan adat kebiasaan, dimana hanya Khidhr yang mampu. Beliau bukan Nabi, tetapi Wali.B.Karamah Yang Disebut Dalam As-Sunnah:(1)Diriwayatkan oleh Abu Hurairahr.a. dari Nabi saw. yang berssabda : “Tak seorang pun berbicara ketika masih dalam ayunan, kecuali tiga bayi : “Isa bin Maryam, bayi di masa Juraij, dan seorang bayi lain.”Juaraij adalah seorang hamba yang taat di masa Bani Israil. Dia punya seorang ibu. Suatu hari dia shalat, tiba-tiba ibunya memanggil : “Juraij!” panggil si ibu. “Tuhan, apakah aku meneruskan shalat atau memenuhi panggilan Ibu?” kata Juraij dalam hatinya. Namun Juraij tetap saja shalat, dan panggilan ibunya terulang lagi. Juarij pun tetep saja shalat lagi. Kemudian ibunya merasa jengkel, lantas berdoa : “Ya Allah, jangan kau ambil nyawa Juraij hingga wajah seorang pelacur Engkau tampakkan di hadapannya.”Di sana ada seorang pelacur di zaman Bani Israil. Pelacur ini berkatapada banyak orang : “Aku akan menggoda Juraij hinnga ia mau berzina.” Pelacur itu pun mendatangitempat Juraij, namun gagal menggodanya.Di dekat suaru Juraij ada seorang penggembala yang biasa tidur di dekat suraunya. Ketika Juraij menolak tawaran sang pelacur, pelacur itu beralih merayu si penggembala. Dan penggembala itu pun mau menyetubuhinya. Akhirnya pelacur itu hamil. Ketika melahirkan, orang-orang menanyakan anak siapa gerangan? Pelacur itu menjawab : “Ini anaknya Juraij.” Lalu Kaum Bani Israil mendatangi suraunya, merobohkan dan memaki-maki Juraij.Ketika itu Juraij sedang shalat, lantas berdoa kepada Tuhannya, dan mendekati so bocah : “Hai bocah, siapa ayahmu?” tanya juraij. Bocah itu menjawab : “Ayahku adalah penggembala.”Kaum Bani Israil sangat menyesali tindakannya, dan memintamaaf pada Juraij. Mereka mengatakan pada Juraij : “Kami akanmembangun kembali suraumu.” Namun Juraij menolaknya, dan dia bangun sendiri seperti bangunan semula.(2)Hadits tentang Gua : Rasulullahsaw. bersabda : “Tiga laki-laki dari orang terdahulu sebelum kalian berangkat pergi. Mereka akhirnya harus menginap dan msuk ke dalam gua. Tiba-tiba ada batu besar dari atas bukit menggelincir, sehingga menutup pint gua. Mereka berkata : “Demi Allah, kita tidak bisa selamat dari batu besar ini, kecuali bila kita berdoa kepada Allah lantaran amal-amal kita yang saleh.”Salah sorang di antara mereka berkata : “Aku mempunyai dua orangtua yang sudah sama-sama tua. Aku tidak pernah minum lebih dahulu, juga keluargaka sebelum keduanya. Suatu hari aku disibukkan pekerjaan, sampai aku tidak datang di waktu sore. Ketika pulang, keduanya tertidur. Lantas aku membuat susu untuk minuman sore bagi keduanya. Ketika kuhidangkan untuk mereka, ternyata keduanya telah tidur pulas. Aku merasa bersalah jika membangunkan mereka, dan aku tidak ingin meminumnya sebelum keduanya minum. Aku hanya bisa berdiri, sementara tempat minum ada di tanganku, sambil menunggu bangunnya mereka berdua, hingga fajar hari tiba. Keduanya pun bangun,lalu meminum minuman sore itu.Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata hanya untuk Diri-Mu, maka bukakanlah kai, dari kesulitan di dalam gua ini.” Lalu batu itu pun bergeser sedikit, namun belum memberi peluang mereka untuk keluar.Orang kedua berkata : “Ya Allah, aku punya adik misan/anak perempuan paman yang paling kucintai. Suatu ketika aku merayu dirinya, namun dia menolak, sampai akhirnya aku sangat sedih selama setahun. Suatu ketika dia datang padaku, dan kuberi sertaus duapuluh dinar. Dengan syarat ia mau untuk berduaan saja antara diriku dengan dirinya. Maka kami pun berduaan. Ketika aku menguasai dirinya (ingin menyetubuhi), dia berkta : “Bagimu tidak halal memecah cincin, kecuali yang berhak.” Maka aku merasa berdoa untuk menyetubuhinya, dan aku pergi meninggalkannya. Padahal dia adalah gadis yang paling kucintai. Sementara kutinggalkan uang yang telah kuberikan padanya. Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari keslitan dalam gua ini.” Lalu batu itu bergeser lagi, namun mereka masih belum mampukeluar dari pintu gua.Kemudian orang ketiga berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempekerjakan para pekerja, kemudian aku telah memberikan upah mereka semuanya, kecuali seseorang di antara mereka, yang pergi begitu saja. Namun upah itu aku simpan dan kukembangkan. Suatu saat dia datang padaku, sambil berkata : “Hai, Abdullah, mana upahku itu.” Kujawab : “Upahmu itu adalah semua yang kau lihat ini, antara lain unta, kambing, sapi dan budak itu.” Dia berkata : “Hai Abdullah kamu jangan menghinaku!.” Aku katakan : “Aku tidak menghinamu.” Latas kuceritakan kisahnya, dan akhirnya semuanya diambil dan digiringnya, tidak disisakan sama sekali. Ya Allah,apabila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kamidari kesulitan dalam gua ini.” Batu itubergeser lagi. Merekapun akhirnya bisa keluar dari gua.”Hadits ini termasuk hadits shahih yang muttafaq alaih.
2.URGENSI WALI DAN KEWALIANMAKNA WALIApakah arti Wali?Untuk mengenal makna Wali, ada dua titik pandang,Pertama: Waliber-wazan fa’iil, bentuk mubalaghah dari faa’il, seperti ‘aliim, qadiir, dan yang sejenisnya . Makna terminologinya adalah : Orang yang senantiasa berkompeten dalam ketaatannya, tanpa dicelahi oleh kemaksiatan.Kedua, bisa jadi bentuk fa’iil bermakna maf’uul, sepeti qatiil bermakna maqtuul, dan jariih bermakna majruuh. Jadi Wali berarti orang yang dilindungi oleh Allah swt. dengan menjaga dan membentenginya untuk selalu langgeng dan terus menerus dalam ketaatn. Maka, bagi Wali tidak dihiasiakhlak kehinaan yang merupakan takdir kemaksiatan, tetapi Alalh melanggengkan Taufiq-Nya yang merupakan takdir ketaatan kepada-Nya. Alalh swt. berfirman :“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Qs. Al-A’raaf:196).KE-MA’SHUM-AN WALIApakah Wali itu selalu terjaga dari dosa (ma’shum)?Wali tidak harus bersyarat ma’shum, sebagaimana para Nabi. Namun bahwa Wali harus menjaga diri (Mahfudz) agar tidak terus menerus melakukan dosa, apabila tergelincir atas salah, maka sifat menjaga diri itu memang tidak menghalangi untuk menjadi identitasnya.Al-Junayd ditanya : “Apakah orang yang ‘arif itu pernah berzina?” Lalu Junayd tertunduk sejenak, kemudian mengangkat kepalanya, sembari membacakan ayat : “Dan adala ketetapan Allah itu, suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Qs. Al-Ahzaab :38).Bila ditanyakan : “Apakah rasa takut itu gugur dalam diri Wali?”Dijawab : “Pada umumnya, para Wali besar, rasa takut itu telah gugur. Dan apa yang kami katakan, jika rasa takut itu ada, amat jarang sekali terjadi, dan hal itu tidak menghalanginya.As-Sary as-Saqathy berkata : “Bila salah seorang memasuki kebunyang penuh dengan pohon-pohon lebat, masing-masing pohon itu ada burungnya, lantas burung itu mengucapkan salam dengan bahasayang jelas : “Assalamu’alaikum wahai Wali Allah.” Jika sang Wali taditidak takut bahwa salam burung itu sebagai tipudaya, maka sebenarnya ia benar-benar tertipu.”MELIHAT ALLAH DENGAN MATAApakah dibenarkan melihat Allah di dunia dengan mata, jika ditinjau perspektif karamah?Jawabnya : “Pandangan yang kuat menegaskan penglihatan tersebut tidak dibenarkan, karena telah disepakati oleh Ulama. Tetapi aku mendengar ucapan Imam Abu Bakr bin Furak r.a. yang meriwayatkan dari Musa al-Asy’ary, beliau berkata : “Bahwa masalah melihat Alalh di dunia dengan mata, ada dua pendapat : “Ungkapan Abu Musa ini ada di dalam Kitab ar-Ru’yatul Kabiir.”PERUBAHAN KONDISI RUHANI PARA WALIApakah seseorang bisa menjadi wali dalam suatu kondisi ruhani tertentu, kemudian pada tahapberikutnya kondisi ruhani itu berubah?”Dikatakan : “Bagi orang yang menjadikan syarat kewalian itu harusadanya ketetapan kondisi ruhani, maka perubahan itu tidak diperbolehkan. Namun bagi yang berpandangan, bahwa dalam kondisi ruhani tersebut dia beriman secara hakiki – walaupun kondisi ruhani bisaberubah setelah itu – maka bisa saja ia adalah Wali dan orang yang benar dalam kondisi ruhani tertentu , yang kemudian kondisi ruhaninya berubah.Inilah pandangan yang kami pilih.”Di antara bagian karamah-karamah Wali itu, antara lain dia mengetahui jaminan rasa aman dari akibat-akibat yang terjadi. Dan akibat-akibat tersebut tidak merubah kondisi ruhaninya. Dengan statemen ini, akan berpadu dengan ungkapan di atas, bahwa seorang Wali itu bolehmengetahui bahwa dirinya adalah Wali.WALI DAN TIPUDAYA YANG DITAKUTIApakah rasa takut tipudaya/cobaan dari Allah itu bisa hilang dari diri Wali?Dijawab : “Bila dia sirna dari obyek penyaksian, terlebur dari rasanya dalam kondisi ruhaninya, maka dia adalah orang yang tersirnakan dari tipudaya karena kelimpahan kewalian yang ada padanya. Sedangkan rasa takut itu adalah bagian dari sifat-sifat kehadiran diri mereka.”WALI DALAM KEADAAN SADARApakah kondisi umum yang dialami oleh para Wlai dalam keadaan sadar?Dalam keadaan sadar mereka selalu bersikap benar dalam menyampaikan Hak-hak Allah swt. Mereka selalu memiliki rasa kasih sayang, kepedulian terhadap sesamamakhluk dalam berbagai situasi dan kondisi. Rasa cinta kasihnya melebarkepada siapa saja, kemudian tanggung jawab mereka terhadap sesama makhluk yang dilakukan dengan penuh budi dengan sikap mengawalinya. Semata hanya untuk mendapatkan kebajikan Allah swt. untuk mereka, tanpa tendesnsi apa pun dari mereka. Para Wali selalu memiliki ketergantungan hasrat atas keselamatan makhluk; meninggalkansegala bentuk tindakan yang menyakitkan mereka; menjaga perasaan agar tidak menimbulkan dendam mereka; membatasi tangannya untuk mendapatkan harta sesama; meninggalkan ketamakan dari berbagai arah terhadap apa yangmenjadi milik mereka; mengekang ucapan mengenai keburukan-keburukan mereka; menjaga diri dari penyaksian terhadap kejelekan-kejelekan mereka. Menjaga diri dari penyaksian terhadap kejelekan-kejelekan mereka; dan tidak pernah mencaci terhadap siapa pun di duniamaupun di akhirat.KI-MA’SHUMAN PARA SYEIKHTidak seyogyannya murid meyakini bahwa para Syeikh (guru ruhani) itu ma’shum (terjaga dari dosa). Seharusnya murid berhati-hati dengan tetap husnudzan kepada para syeikh. Menjaga diri bersama ilmu, dengan sikap membedakan antara mana yang terpuji dan mana yang tercela.MURID DAN HARTA DUNIASetiap murid, yang di dalam hatinya masih tersisa kepentingan harta dunia, maka meraih harta tersebut diperbolehkan. Tetapi bila dalam hatinya masih ada ikhtiar terhadap hal-hal yang keluar dari hartanya, kemudian ia berharap bisa mengkhususkan dari harta itu untuk kebaikan, berarti si murid itu telah memaksa dirinya.Lebih bahaya lagi bila ia kembali secepatnya kepada dunia. Sebab tujuan murid adalah membuang ketergantungan (selain Alalh swt.), yaitu keluar dari dunia, bukannya berupaya untuk kepentingan amal-amal kebajikan.Sangat tercela bila murid keluar dari obyek harta dan modalnya, lantas dia sendiri justru menjadi tawanan pekerjaannya. Karena itu seyogyanya dia menyamakan sikapnya, baik harta ituada ataupun tidak, sampai dirinya tidak terganggu byang-bayang kemiskinan, tidak membuat orang lain gelisah, walaupun orang lain itu Majusi.PENERIMAAN SYEIKH PADA MURIDPenerimaan hati syeikh terhadap murid, merupakan bukti paling benar atas kebahagiannya. Bila seseorang ditolak oleh hati syeikh, maka tidak diragukan lagi, dalam beberapa waktu penolakan ituakan menjadi nyata.BERGAUL DENGAN ORANG YANG BANYAK BICARASalah sati penyakit yang amat pelik dalam tharikat ini adalah bergaul dengan orang yang banyak bicara (omong kosong). Sebab hati akan disibukkan dengan persoalan makhluk. Padahal Allah swt. berfirman :“Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal di sisi Alalh adalah perkara besar.” (Qs. An-Nuur :15).Fath al-Mushaly berkata : “Aku berguru kepada tigapuluh syeikh. Rata-rata mereka tergolong Wali Abdal. Semuanya berwasiat kepadaku ketika aku berpisah denga mereka : “Takutlah kalian bergaul dengan orang yang banyak obrolannya: “kata para syeikh itu.Apa yang mereka ucapkan tentang berbagai keragu-raguan dan dongeng-dongeng dari orang tua. Lebih baik kita turunkan tirai atas semua itu. Sebab cerita-cerita itu menjadi cermin kemusyrikan dan taman kekufuran. Na’udzubillahi Ta’ala dari datangnya keburukan.DENGKIDi antara penyakit murid adalah hasrat yang memasuki nafsunya, berupa kedengkian terhadap sesama teman, dan merasaemosi atas keistimewaan yang diberikan oleh Allah swt. pada temannya dalam tharikat ini. Sementara dia sendiri tidak mendapatkan seperti yang diraih oleh yang lain. Ketahuilah, bahwa semua perkara itu telah dibagi oleh Allah swt. Hamba hanya bisa selamat, apabila si hamba lebih mencukupkan diri pada Wujud Alalh swt. Yang Haq, dan menerima apa pun ketentuan dari Kemurahan dan Kenikmatan-Nya.PRIORITASKetahuilah, bahwa kewajiban murid apabila sudah sepakat terjun, harus memperioritaskan yang lain secara totoal dibanding diri sendiri. Baik orang yang lapar ataupun orang yang kenyang harus diprioritaskan, dibanding dirinya. Dia juga harus merasa menjadi murid setiap orang yang jelas sebagai syeikh, walaupun dia sendiri lebih pandai dari orang tersebut.GERAKAdapun etika murid dalam sima’. Maka bagi murid tidak diperkenankan bergerak-gerak dalamsima’ yang muncul karena ikhtiarnya sendiri. Apabila muncul bisikan ruhani, sedangkan dirinya tidak mampu menahan gerak, maka sekedar ekspresi luapan bisikan yangmenyebabkan gerak, masih ditolerir. Apabila luapan ruhani yang datang tadi sudah hilang, dia harus tetap duduk dan tenang. Apabila dia meneruskan gerak untuk menarik ekstase, tanpa adanya limpahan dan desakan/darurat, maka gerak dalam sima’nya tidak dibenarkan. Bila masih kembali demikian, berarti dia tidak mendapatkan keterbukaan hakikat.PERGI DAN BERPINDAH TEMPATApabila murid diuji dengan pangkat kedudukan atau pergaulan omong kosong, serta mulai jatuh cinta pada wanita, sementara tidak ada syeikh yang menunjukkan jalan keluarnya, dia boleh pergi dan pindahtempat.Di antara para syeikh berkata : “Bila seorang ‘arif berbicara menegnai ilmu pengetahuan, maka masa bodohkan dia. Sebab seharusnya seorang ‘arif mengkabarkan tentang tahapan-tahapan, bukan ilmu pengetahuan. Bagi yang ilmunya lebih dominan dibanding tahapan-tahapannya, maka dia adalah pakar ilmu, bukannya penempuh suluk.”PEDULI PADA PAR FAKIRBila murid peduli membantu pada para fakir, maka hiburan hati mereka adalah rasa lapangnya terhadap murid. Karena itu tidak seyogyanya murid kontra terhadap kata hatinya, sehingga dalam berkhidmat pada kaum fakir harus benar-benar ikhlas, mencurahkan tenaganya semaksimal mungkin.SABAR ATAS CELAANApabila murid memilih menjalani darma baktinya bagi orangorang fakir, dia harus sabar dengan celaan orang banyak. Dia juga harus berbuat sepenuh jiwa dalam darma baktinya terhadap mereka. Apabila mereka tidak memuji atas kepeduliannya, dia harus mencerca dirinya, agar hati para fakir itu lega. Walaupun dia mengerti bahwa dirinya sebenarnya tidak bersalah.Bila orang-orang semakin mencacinya, dia harus menambah pengabdian dan kebaikan kepada mereka. Karena saya mendengar Imam Abu Bakr bin Furak berkata : “Bila engkau tidak sabar di atas palu, maka mengapa engkau menjadi landasan palu.?”MENJAGA ADAB SYARIATDidasarkan pula pada kaitan di atas, seorang murid harus menjaga adab syariat, menjaga tangannya untuk tidak meraih hal-hal yang haram dan syubhat, menjaga indera dari hal-hal yang diharamkan, menyertai nafas bersama Allah swt. dengan menjauhkan dari segala kealpaan, tidak menuangkan racun jiwa yang di dalamnya ada syubhat dibejana darurat. Apalagi di waktu-waktu yang bebas dan luang untuk ikhtiar.Di antra perilaku murid adalah melanggengkan mujahadah dalam meninggalkan syahwat. Siapa yang bersesuaian dengan syahwatnya, akan sirna kesuciannnya. Perilaku terburuk bagi murid justru ketika dia kembali lagi kepaa syahwat yang pernah ditinggalkannya.MENJAGA JANJI DENGAN ALLAH SWT.Bagi murid harus menjaga janji bersama Allah swt. Apabila ia meruska janji di jalan cita-cita, ia sebdanding dengan murtad dari agama, bagi kalangan ahli dzahir. Bagi seorang murid seyogyanya tiak berjanji dengan Allah swt. terhadap segala hal dengan ikhtiar dan kemauannya sendiri. Sebab, dalam keharusan-keharusan syariat, ada sesuatu yang harus dipenuhi semaksimal mungkin. Allah swt. berfirman : “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu merekatidak memelihara dengan pemeliharaan yang semestinya.” (Qs.Al-Hadiid :27).MENJAUHI PENGHAMBAAN DUNIAWIDi antara perilaku murid, hendaknya menjauhkan diri dari penghamba dunia. Bergaul mereka adalah racun yang mematikan. Karena mereka menyerap potensi murid, sedangkan jiwa murid semakin berkurang bersama mereka: “Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya.” (Qs. Al-Kahfi :28).Orang-orang zuhud mengeluarkan harta dari kantongnya demi taqarrub kepada Allah swt. Sedangkan ahli tasawuf mengeluarkan makhluk dan ilmu pengetahuan dari hatinya, untuk melebur dalam hakikat bersama Allah swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar